Abad 21 adalah masa yang tak
pernah terbayang sebelumnya. Penanda khas dari zaman ini adalah hilangnya
batas-batas kultural antar bangsa dalam dimensi budaya, ekonomi maupun politik.
Globalisasi adalah peristiwa mutakhir di mana tak ada lagi bangsa yang otonom
dari keberadaan bangsa lain. Sudah merupakan “kewajiban” antara bangsa untuk
melakukan kesalingterhubungan demi membangun keberlangsungan kehidupan
bernegara yang layak.
Tahun 2015 nanti, gaung
globalisasi tidak sekedar wacana dari negeri seberang. Melalui masyarakat
ekonomi Asean (AFTA), kita dituntut untuk mengadaptasikan seluruh kemampuan
sumber daya potensial untuk menghadapi era keterbukaan pasar global. Ini
berarti secara ekonomi, kita harus mampu bersaing dengan pasar dari “negeri
seberang” dengan memproduksi dan memanfaatkan "kelebihan” yang kita
miliki. Pertanyaannya yakni, seberapa mampukah daya saing sumber daya yang kita
miliki untuk “bertarung” di dalam era keterbukaan AFTA?
Modal Kebudayaan
Keresahan yang paling
mengkhawatirkan di era pasar bebas adalah hilangnya penanda kebudayaan yang
menjadi ciri khas masyarakat kita. Keresahan ini sudah diwanti-wanti oleh
Ritzer, seorang ahli sosiologi dengan istilah yang ia sebut McDonaldisasi
kebudayaan. Keresahan Ritzer merujuk pada fenomena kebudayaan yang secara
homogen dikooptasi oleh “rejim kebudayaan pasar”. Miskinnya pemaknaan
masyarakat terhadap kearifan lokal adalah salah satu contoh dari kooptasi rejim
kebudayaan yang mengartikan nilai kehidupan berdasarkan nilai-nilai asing.
Lantas apa kaitannya dengan
AFTA? Pasar bebas sebagai medan pertemuan produk-produk diperjualbelikan,
merupakan garda paling depan dalam “mempromosikan” selera bahkan nilai
kebudayaan “negeri seberang”. Produk adalah “duta” paling efisien untuk
“mengakali” apa yang mejadi kebutuhan masyarakat kita. Bila hal ini terjadi,
tidak tertutup kemungkinan akan berdampak secara kultural yang mengubah selera,
praktik dan cara hidup berkebudayaan masyarakat Indonesia.
Bagi Makassar sebagai
gerbang timur perekonomian, mau tidak mau harus mempersiapkan strategi
kebudayaan yang memungkinkan terjadinya penguatan nilai-nilai lokal saat
menghadapi era pasar bebas. Hal ini dapat dilakukan melalui jalur edukasi yang
kembali mengingatkan masyarakat untuk terus menghidupkan kehidupan berbasiskan
kebudayaan. Menyangkut ini apa yang sempat diprakarsai oleh pemerintah kota
Makassar melalui film Bombe’ adalah salah satu contoh seperti apa kebudayaan
lokal diterjemahkan dalam kemodernan masa kini. Bila hal demikian tidak
diantisipasi, maka budaya lokal yang kita miliki akan tersapu bersih oleh
bentuk-bentuk kebudayaan baru seiring banyaknya produk luar negeri yang masuk.
Visi Makassar sebagai kota
dunia, sejatinya adalah kota dengan konsep yang modern. Kota modern biasa
diterjemahkan dengan City -bukan town- yang
berarti telah memiliki sumber daya ekonomi, politik dan kebudayaan yang mapan.
Masyarakatnya disebut dengan citizen yakni warga kota
yang smart, terbuka, inovativ dan revolusioner dalam menghadapi
tantangan. Dengan maksud singkat, kota dunia adalah kota dengan masyarakatnya
yang mampu bersaing dan berhubungan dengan kemajuan bangsa-bangsa lain.
Tetapi Makassar juga kota
dengan sejarah lokal yang khas dengan kearifannya. Banyak adat budaya yang
menjadi penanda local genius sebagai modal yang mampu
dijadikan daya saing bagi era keterbukaan pasar. Dengan demikian, kearifan
lokal tidak hanya sebagai nilai-nilai kuno yang berbasiskan nilai, melainkan
mampu diolah menjadi produk bagi pengembangan kedaerahan kita.
Selain dari budaya lokal,
tantangan MEA yang lain adalah bagaimana kesiapan industri berbasis kerakyatan
dapat difungsikan. Hal ini untuk membentuk komunitas pasar yang dapat
menghasilkan produk bermanfaat dengan sumber daya yang dimiliki. Karena
di satu sisi, keterbukaan pasar juga memiliki dampak negatif terutama terhadap
keberlangsungan pasar-pasar berbasis domestik.
Hal yang lain yang juga mesti
dipersiapkan, adalah bagaimana maindseat masyarakat terutama
pelaku pasar, tidak lagi berposisi sebagai secondary hand yang
pasif dalam mengelolah pasar melainkan dengan sumber-sumber daya yang dimiliki,
mampu memposisikan diri sebagai produsen aktif. Di dalam situasi yang demikian,
maka ekonomi berbasis kearifan lokal dapat dinyatakan sebagai kekuatan
produktif bagi pemasukan pasar.
Menjelang pasar bebas Asean
nanti, setidaknya secara kebijakan, pemerintah sudah memiliki perencanaan
strategis yang memprioritaskan bagaimana cara menghadapi persaingan pasar
internasional. Selain dampak-dampak yang telah disebutkan di atas, tak luput
pula bagaimana infrastruktur pasar dipersiapkan secanggih mungkin untuk
menunjang keberlangsungan distribusi dan perputaran perekonomian. Pemerintah
dalam hal ini sebagai perpanjangan negara harus dapat menciptakan iklim pasar
yang baik dengan menyiapkan perangkat-perangkat aturan yang menjamin secara
hukum agar dapat memperlancar mekanisme pasar.
Syahdan, Makassar yang
digadang-gadang sebagai kota dunia berarti Makassar yang mau tak mau harus siap
menghadapi era pasar AFTA. Makassar dengan proyeksi besarnya, setidaknya
sudah memiliki kesiapan sebagai modal agar kita tidak kalah di “rumah” sendiri.
Sebagai citizen, saya, kita semua, melalui pemerintah hanya bisa
menaruh harap bahwa Makassar benar-benar menjadi bukan kota dunia melainkan
kota yang mendunia.