rumah

Every writer has an address. Setiap penulis harus memiliki alamat. Ungkapan ini saya temukan ketika membaca Catatan Pinggir, Isaac Bahevhis Singger yang mengatakannya di sana. Atau ungkapan lain; seorang penulis pasti memiliki “rumah”.

Di sana Isaac menyatakan, penulis, atau orang yang akrab dengan dunia pemikiran, pastinya memiliki suatu latar belakang, suatu lingkungan pemikiran.  Dan “rumah” kata yang ia pilih. “Rumah” biar bagaimana pun adalah penanda sebuah lingkungan. Sebuah habitus.

“Rumah” adalah pengandaian dunia ideide, suatu ekosistem yang membangun gagasangagasan dengan konsisten. Suatu proses dialektis yang panjang. Di dalamnya bergerak lintasanlintasan pemikiran. Budaya dialog tumbuh berkembang.  Kritisisme jadi pengalaman bersama, hingga akhirnya menggempal suatu khas; identitas.

Seorang penulis memiliki “rumah”, seorang penulis memiliki identitas. Namun, bagaimana cara identitas, sebuah “rumah” terbangun? Isaac membaca sejarah Indonesia ketika tumbuh diparuh abad dua puluh. Rentang sejarah dengan gagasan besar, ramai dengan tokohtokoh besar, dan tentu peristiwa besar. Di sanalah bangsa menjadi sebuah pengalaman akbar, suatu “rumah” sejarah.

Dari pengalaman sejarah itu sebuah kebudayaan digerakkan. Sebuah visi tegak demi arah baru bangsa yang baru saja terwujud. Di pengalaman sejarah itu juga banyak perselisihan orangorang seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Taufik Ismail, dll., hingga perselisihan di antara mazhab kebudayaan Lekra dan Manifes Kebudayaan. Penggalanpenggalan inilah yang sedikit banyak membentuk frame dasar sebuah “rumah” Indonesia.

Di tempat lain atau paling tidak negara dunia ketiga, yang mengalami riuhnya penegakkan kemerdekaan, juga punya “rumah”. Di sana bermunculan penulispenulis besar yang akrab dengan sejarah bangsanya. Biar bagaimana pun, sejarah adalah batu dasar dari sebuah dilema, juga pergolakkan. Dan dari dilema dan juga pergolakkan, seorang penulis tumbuh mencipta rumah pikirannya, rumah identitasnya.

Sebab itulah Isaac mengatakan seorang penulis pasti memiliki “rumah” atau “alamat”; suatu medan pergolakkan pemikiran dari lintasan suatu gagasan besar berlangsung, suatu dilema kebudayaan, arus pasang surut peristiwa sejarah bangsa, sentimetalisme kelompok, tradisi kritik, yang membangun lingkungan tempat cakrawala berpikir tumbuh besar.

Di Indonesia kita punya penulis yang tumbuh dengan “rumahnya” masingmasing. Selain namanama besar di atas, kita mengenal anak muda, semisal Ahmad Wahib, juga Soe Hoek Gie. Yang membentuk rumahnya dari pertautan langsung dengan perjalanan bangsanya. Juga yang disebutkan Isaac; Goenawan Mohammad.

Dari mereka kita bisa mengerti menjadi seorang penulis berarti ada perlibatan langsung. Suatu sikap yang mau masuk dalam problem, bergelut di dalamnya, juga aktif berpolemik. Dan yang utama adalah sikap gigih. Sikap gigih inilah yang terasa amat penting dibutuhkan. Pasalnya, gigih berarti berani menyambangi dunia luar, berarti bersiap bertukar pengalaman. Berani berdialog.

Tapi, dialog seperti apa yang ingin kita andaikan dalam dunia yang penuh persitegangan? Yang di sana adalah dunia yang penuh fanatisme dan ekstrimis pemikiran, sehingga mampu tercipta kebudayaan yang aktif membangun sumber daya yang mapan.

Nampaknya, kita harus kembali dalam perbincangan yang subtil, bahwa kebudayaan bukanlah kata benda yang baku juga statis. Tapi, sebagai tradisi adalah sesuatu yang dinamis dan berkembang. Ini berarti kebudayaan adalah  suatu usaha campur tangan, yakni di sana ada usaha untuk mengguyah sendisendi yang stagnan dan jumud.

Maka kita harus membangun rumah baru, alamat yang mengarahkan pada lingkungan yang penuh gelora. Yang di mana, di sana budaya bukan ihwal tentang bendabenda melainkan pemikiran yang membentuk lintasan yang sulit kita ringkus pada satu defenisi. Sebab kebudayaan yang berpusat pada bendabenda adalah suatu yang tetap, stagnan. Karena yang hendak kita olah adalah budaya yang aktif  dan dinamis.

Syahdan, saya ingat rekaman diskusi, entah siapa yang membawakannya saat itu. Judulnya Pram Mencari Rumah. Dari diskusi yang sedikit metafor itu, sepulang dari pulau Buru, tempat Pram diasingkan, lingkungan yang dihadapi Pram pasca pengasingan adalah keadaan yang banyak berubah. Di hadapannya terbentang sejarah yang berbeda, sebuah bangsa yang memutus semua pertatutan pengalamannya dengan masa lalunya, dengan karyakaryanya. Tidak bisa kita bayangkan keadaan jiwa dari seorang Pram yang berpulang ke “rumahnya” dengan menghadapi kenyataan bahwa tempat yang ditujunya bukan lagi tempat yang disebut “rumah”.

Tapi, “rumah” apa yang Pram idealkan pasca pengasingan? Bisa dua hal; rumah huniannya, dan rumah ideidenya. Hanya saja yang paling pedih ketika “rumah” pemikirannya, lingkungan dialognya, orangorang yang menjadi lawan dan kawan debatnya, ruang kerjanya, juga anakanak ideologisnya, adalah “rumah” yang telah jadi asing akibat kekuasaan yang lancung.

“Rumah”  bagi seorang Pram, barangkali adalah sebuah masa nostalgis tentang keadaan yang penuh gejolak pemikiran, dan juga tentang negeri yang memilin pengalamannya hingga jadi suatu negara, suatu bangsa. Dari semua itu ada bulatan pengalaman yang membentuk Pram, seluruh akitivitasnya yang menyulut prasangka berlebihan dari rezim saat itu. Melalui karyakarya ia telah membangun “rumah” pikirannya, tapi sepulangnya, ia seperti orang malang, orang yang didepak dari lingkungannya. Seorang tua yang telah diremuk identitasnya. Orang yang kehilangan “rumah”.

Tapi Pram adalah Pram. Orang besar yang memiliki “rumah” besarnya beserta anakanak ideologisnya, dan juga kebudayaannya. Kita juga barangkali mengerti, dari karyanyakaryanya, sebuah “rumah” adalah perkara pelik, apalagi jika “rumah” yang dimaksudkan adalah konstruksi yang membukakan pintu bagi semua orang. Sebab semua penulis, dengan “rumahnya”, adalah bangunan yang berdatangan banyak tamu, banyak yang singgah dan  juga banyak yang pergi. Juga seperti kebudayaan, adalah silang sengkarut dan dialog yang berkepanjangan tiada henti.