Generasi Multitasking

Sebelumnya saya pernah menulis tentang kaum digital natives. Bila dibilangkan kembali, kaum digital natives merujuk pada lapisan generasi yang dibesarkan dan tumbuh oleh kemajuan alat teknologi informasi dan komunikasi canggih. Secara umur, mereka adalah generasi muda yang lahir 90an ke atas yang akrab dibesarkan bersama alam dunia digital. Di alam yang serba terbuka, yakni cairnya arus informasi yang mudah diterima, penggunaan alat komunikasi yang canggih serta produksi waktu yang kerap dihabiskan di depan layar digital, lapisan baru ini sungguh berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih suka mengoleksi lagu mp3, mendownload film kesukaan, mengupdate status di dunia maya, membaca berita digital, asik BBMan bersama dan sebahagiannya menghabiskan waktu dengan bermain game secara online dipusat-pusat game center.

Secara sosial, generasi digital natives dalam beberapa sisi menyerupai apa yang dalam novel Douglas Couplan katakan sebagai generasi X. Yakni generasi yang diasuh langsung oleh zaman digital, secara penuh terlibat secara simbiosis dengan kerkaitannya dengan media. Dalam pernyataan yang lain,  dunia simbol yang mereka terima sungguh berbeda dengan generasi terdahulu melalui dunia layar yang akrab mereka saksikan. Lewat layar digital, dunia simbol maupun dunia pemaknaan sudah berbeda jauh dengan referensi yang diterima dari generasi sebelumnya. Dengan demikian secara nilai, terjadi berbagai kontradiksi yang tak bisa disangsikan, sebab dalam pertumbuhannya generasi digital natives secara moral hidup dari zaman yang sedang mengalami transisi besar-besaran menuju format dunia yang sungguh jauh berbeda dari sebelumnya.

Pertentangan Moral

Zaman sekarang, tempat hidup yang berpusat pada kebudayaan yang ditempa globalisasi, waktu yang dimobilisasi agar efisien dan produktif, serta ruang yang diproduksi berdasarkan kalkulasi kapital, menghasilkan dunia yang ramai oleh tuntutan. Generasi digital natives, lapisan baru dengan segala tuntutan modernitasnya akhirnya muncul dengan kecenderungan tercampur aduknya segala macam aktivitas yang saling bertentangan satu dengan lainnya dalam perilaku mereka.  Secara moral kontradiksi-kontradiksi yang dialami oleh generasi ini disebut sebagai generasi multitasking.

Multitasking dalam wacana komputer merupakan kemampuan sistem operasi yang mampu menangani tugas-tugas komputasi secara simultan atau dalam waktu yang bersamaan. Misalnya saja dalam waktu yang bersamaan anda sedang membuka aplikasi facebook bersamaan dengan program Mp3 yang anda dengarkan dengan menggunakan smartphone anda. Dua aplikasi yang bekerja secara bersamaan inilah yang dinamakan multitasking.

 Lantas apa kaitannya dengan generasi digital natives? Dalam rumusan ini, pelabelan generasi multitasking sesungguhnya merujuk pada pertentangan-pertentangan yang secara normatif dan moral mengacu pada lapisan nilai yang diyakini oleh generasi masa kini. Di mana pertentangan ini begitu transparan nampak dari perilaku yang diperlihatkan dalam biografi sosial mereka.

Generasi multitasking, dalam biografi sosialnya adalah orang-orang yang tidak lagi terbebani dengan imperatif-imperatif  lama yang diacu sebagai panduan sikap sebagaimana generasi yang hidup dengan semangat zaman yang berbeda. Dahulu pada zaman tatanan lama, seorang anak muda bisa saja menolak secara tegas kehidupan hedonistis dengan pemihakan terhadap ideologi tertentu, seorang pejuang ham dengan sendirinya akan mengecam tindak represi dari pemerintahan otoriter, kalau menentang kehidupan kapitalis otomatis bakal menolak dikotik, cafe atau shopping mall. Tegasnya jika pemusatan pada sebuah nilai tertentu, maka dengan sendirinya akan menolak antitesa dari prinsip nilai yang diyakini. Namun dari apa yang kini tengah tumbuh adalah generasi yang berbeda, sehingga formasi nilai yang diyakini adalah paradigma yang bercampur segala hal di mana tak ada pagar pemisah dari nilai keyakinan yang dipercayai.

Secara ideologis, tatanan masyarakat baru ini adalah didasari oleh citra-citra audiovisual yang begitu cair didapatkan dari layar digital yang akrab dalam kehidupan praktis mereka. Sumber tatanan nilai yang diacu tidak lagi berasal dari entah itu ideologi tertentu ataupun keyakinan religius yang berasal dari agama. Sebab sumber legitimasi yang diacu selama ini dalam anggapannya adalah keyakinan yang beku dan dogmatis terhadap keberagaman yang jamak. Maka dari itu, jika ada jenis keyakinan yang demikian, itu berarti adalah bangunan artefak yang tak lagi adaptable dengan konteks zaman tempat kehidupan sosial diselenggarakan.

Maka wajarlah kita saksikan, lapis masyarakat baru yang bisa saja menghendaki kehidupan yang demokratis dengan enggan terlibat dalam praktik-praktik gerakan sosial, berkeinginan memiliki pemerintahan yang bermoral dan beradab tanpa meninggalkan majalah fashion dengan model-model yang sensasional, berkehendak untuk hidup religius dengan menolak corak agama yang fundamental, anak-anak muda yang siangnya memanfaatkan ruang edukasi tetapi malamnya tumpah ruah di mall-mall dan diskotik, serta juga gandrung bicara politik tanpa tak pernah melewatkan acara-acara pencarian bakat. Dalam celotehan Daniel Bell mereka ataupun barangkali kita adalah generasi “straigh by day swinger by night”.

Nampaknya apa yang sedang tumbuh di masa seperti sekarang menjadi sebuah penampakan sosial tersendiri yang mesti disikapi dengan bijaksana. Di mana acuan nilai yang dijaga dalam tradisi, panduan moral yang kerap menyitir teks-teks suci, norma adat yang digali dalam kearifan lokal sedang menghadapi gesture zaman yang berbeda. Tetapi bukankah hidup adalah tidak saja berdamai dengan kontradiksi yang dimiliki era sekarang, di mana gairah hidup generasi sekarang adalah bukan bersumber dari penolakan “terhadap” melainkan juga justru sikap gembira terhadap perbedaan yang disemarakkan. Dengan begitu, generasi sekarang adalah generasi yang menolak sekaligus menerima, barangkali seperti dalam pernyataan Gramsci, pemikir muda dengan otak cemerlang asal itali, zaman sekarang adalah zaman dengan asas “bersama-sama anda sekaligus menentang anda”.