Ada asumsi tentang politik, seingat saya dari Herman Broch, bahwa
politik berarti merawat komunitas. Ini artinya politik paralel dengan kehidupan
kolektif, yang di dalamnya sudah pasti punya misi edukasi, kerja membangun.
Juga dalam komunitas sudah tentu mensyaratkan adanya pusat. Kolektivitas
berarti "kita" sebagai pusat. Dalam "kita" berarti ada
peneguhan terhadap identitas, terhadap simbol, untuk dijadikan garis batas
terhadap yang lain.
Namun, dalam masamasa yang penuh dengan eufimisme, politik bisa
bermaksud lain. Politik justru berarti mengkerdilkan pihak yang berada
di seberang. Kita menjadi emoh terhadap yang lain, sementara identitas kelompok
adalah sanjungan yang berdiri atas kesadaran tanpa argumentasi.
Di sinilah politik berubah haluan menjadi mitos. Mitos, seperti kita tahu adalah pengetahuan yang tak punya asal usul, sejenis kesadaran yang tak memiliki basis kenyataan tetapi diyakini dan diteguhkan kebenarannya dari otoritas yang berlangsung. Dan mitos adalah petanda dari ketiadaan rasionalitas yang argumentatif. Maka politik yang didatangkan dari alam yang irasional adalah mitos yang digaungkan dan dipertahankan untuk keberlangsungan orang banyak.
Sehingga wajar sampai akhirnya tampak alami, iklim politik yang
kehilangan wibawa. Suasana partisipan yang melanggengkan irasionalitas, sebab
tak ada yang bisa dikatakan baik dalam alam yang irasional. Namun akhirnya
wajar kita maklumkan, tentang citra yang dikontruksi, kebesaran yang dibentuk,
prestasi yang dipaksakan untuk menutupi jumud yang sebenarnya nampak enggan
diakui.
Jika sudah demikian "kita" sebagai pusat dari
kolektivitas kerap akhirnya dirawat dengan dasar yang temaram. Kesadaran temaram,
kata Broch adalah jenis pengetahuan yang instingtif. Atau tipe pengetahuan yang
tidak melibatkan sisi historis sebagai bahan baku pertimbangan. Itu artinya
politik yang dibangun dengan kesadaran temaram berarti hubungan yang
tentatif-temporal. Hubungan yang tidak diukur dari pertimbangan yang matang.
Apalagi tidak membawa aspek sejarah di dalamnya. Jadi wajar bila tibatiba saja
kita sudah diperhadapkan dengan ikatanikatan yang membingungkan. Oleh karena
di sana tak ada keputusan yang masuk akal untuk dipertanggungjawabkan.
Bila politik adalah merawat komunitas, maka di sana ada ruang yang
membangun kesadaran, tentu dengan mempertimbangkan etika dalam proses
keberlangsungannya. Di sana juga ada keberlangsungan yang terus menerus
di antara relasi untuk mencerahkan. Yang juga diharapkan sebenarnya adalah
proses politik yang menjunjung nilai etis dan komunikasi yang bisa
dipertanggung jawabkan, tidak sekedar informasi yang tanpa diketahui asal usul
kehadirannya. Sebab di luar informasi yang bertanggung jawab adalah omongkosong.