Konon
filsafat adalah ilmu yang punya dampak praktis. Dahulu maksud yang praksis itu
ditemukan dalam theorea. Theorea dikenal dengan sikap pikiran yang
terbuka terhadap kebajikan, sebuah sikap pikir yang tertib untuk mencandrai nous, untuk
melihat cosmos yang akbar, atau dengan kata lain, theorea adalah
sebuah jalan untuk menjadi bajik, menjadi hanif dihadapan macrocosmos.
Dengan theorea, manusia
diajak untuk menghindari doxa, dalam pengertian Plato adalah kebenaran yang
tak sahih, kenyataan yang cenderung berubah, pernyataan yang kerap kali tak
bisa diyakini. Dengan theorea, manusia diajarkan jalan bios theoritikos, sebuah
sikap hidup yang mengolah jiwa pada keabadian, pada yang stabil, sesuatu yang
tetap. Sehingga dengannya manusia diarahkan untuk hidup bijaksana, untuk
mencapai otonomi. Dengannya, otomatis bermaksud praxis.
Juga theorea ada dalam
agama-agama kuno. Yunani misalnya, ada theoros, seorang wakil, atau bisa jadi seorang utusan
polis, untuk dikirim pada acara agama, untuk mengalami peristiwa
transendental, di mana dengan maksud "memandang" peristiwa yang
jauh melampaui fisik, untuk dibaca, untuk diterjemahkan. Di saat demikian, saat theoros memandang
nous yang sakral, ia mengalami theorea, proses pengalaman membebaskan nafsu
yang fana, situasi emansipasi atas bagian diri yang berubah-ubah. Orang Yunani
kala itu, menyebut laku itu khatarsis: pembebasan diri dari dorongan yang fana.
Artinya
filsafat juga punya maksud khatarsis. Dengan pengertian ini filsafat
berkehendak membebaskan manusia dari dorongan-dorongan fana dengan mengajak
pada kenyataan yang tetap, kepada peristiwa yang stabil. Sehingga saat demikian
ada batas antara ada dan waktu, antara yang tetap dan yang berubah-ubah, antara
kepastian dan keraguan. Pasalnya, sesuatu yang kerap berubah sering kali
cenderung pupus dimakan usia, juga yang berubah adalah berarti belum lengkap,
tidak utuh. Sementara ada itu sendiri adalah kenyataan yang selalu tampak,
sesuatu yang melingkupi segalanya, hal yang stabil, lengkap, sesuatu yang
pasti.
Namun
biasanya filsafat punya maksud berbeda, tidak saja bermaksud praktis.
Setidaknya dalam doktrin Marx. Marx, dengan pemikirannya yang radikal itu,
hendak meluluhlantahkan yang diyakini stabil, bangunan yang cenderung
menghindari perubahan. Dalam benak Marx, filsafat yang meneguhkan sesuatu itu
stabil berarti ia salah kaprah. Justru kenyataan di mata filsafat adalah inti
yang saling bertentangan, keadaan yang mengalami tegangan tiada henti.
Filsafat
dengan maksud mengokohkan realitas yang tetap, berarti anti perubahan, bahkan
anti kemanusiaan. Baginya filsafat adalah kewajiban untuk mengubah kenyataan dengan
cara mengkoreksinya melalui sikap, buan pikiran. Filsafat tidak hanya
menafsirkan dunia, melainkan turut membentuknya, ujarnya di suatu waktu. Marx
memiliki keteguhan dalam pandangannya ini, yakni filsafat harus juga punya
tanggung jawab terhadap kemanusiaan.
Di sini,
barangkali Marx berkeinginan untuk memupuskan harapan filsafat yang hanya milik
segelintir orang. Sebab, filsafat, dalam bentang peristiwa sejarah adalah
pekerjaan orang-orang kaya. Aktivitas yang hanya dimiliki bangsawan atas waktu
luang yang dimiliki. Sebut saja Des Cartes, dari atas tempat tidurnya, di saat
ia bergumul dengan waktu luangnya, ia mendapatkan titik terang dari
kebingungannya: cogito ergo sum. Juga Kant, yang ketat soal waktu, banyak
merumuskan pikirannya dari pondok sunyi yang ia tinggali.
Dalam
masamasa seperti ini, kita membutuhkan filsafat yang hidup dijantung kehidupan
masyarakat. Setidaknya filsafat yang lahir dari keluh kesah dan optimisme,
antara rasa emoh dan keinginan untuk merombak. Sebab jaman sekarang, adalah
masa yang sulit ditaklukkan dengan hanya mengandalkan asumsiasumsi yang
spekulatif. Filsafat harus tahu dan mengerti inti kenyataan yang kita hadapi,
kenyataan yang kerap berubah dan bersitegang terus menerus. Filsafat jenis
inilah yang kita harapkan, bukan jenis fisafat yang lahir dari hujan yang
ritmis, melainkan filsafat yang tumbuh di tengah badai yang amuk.