Ada masa yang patut kita berikan rasa yang tinggi, namun juga ada
situasi yang membuat dada kita sesak bukan main. Beberapa waktu yang lalu
sebuah kabar bisa berarti sebuah bencana. Apalagi jika kabar yang sayup
didengar bertolak dari lingkungan yang akademis; kampus. Tempat yang mafhum
kita tahu dari sana harapan bisa ditandai dengan gelora pujapuji. Tempat
pengetahuan bersemai seiring silih berganti hari.
Namun bencana tidaklah bermata, ia datang begitu tibatiba,
menyulut tanpa tatakrama. Dan memang bencana adalah sesuatu yang memiliki
kekutan massif. Seperti yang sudahsudah, bencana memanglah massif, tak
tanggungtanggung, melabrak seluruh tanpa pamrih, tak mengenal aturanaturan, kampus
sekalipun.
Namun bencana apakah yang saya maksudkan disini? Patutkah kita
menyebutnya bencana? Tentang situasi yang tak didugaduga seperti beliung yang
datang serempak. Seperti tsunami yang menyisir bersih tanpa didahului
tandatanda sebelumnya. Ataukah wabah penyakit yang menghapus nyawa ribuan orang
di suatu tempat. Barangkali adalah salah saya, kamu, dia, mereka, bapak
itu, ibu yang disana, tuan polisi, ataukah bapakbapak yang terhormat serta
organorgan yang seringkali tumbuh tenggelam, yang menjadi sebab bencana itu
dapat terjadi.
Memang bencana adalah sulit untuk dihindari.
Namun jika bencana itu bersemayam didalam kampus maka itu suatu hal yang patut
kita risaukan. Bisakah kita menebak tentang kemelut api yang melahap lapar?
Juga tawuran yang seringkali menjadi trend bagi kita? Ataukah kelupaan kita
bahwa kampus semestinya tempat manusia unggul untuk menolak diam? Ataukah
suasana pencerahan sudah tercuri di saat kita sedang memperbincangkannya? Atau
kita purapura tuli dan buta tanpa kita pernah tahu dari mana datang sumber
suara dan kesan yang harus kita tangkap?
Bencana memang menyesakkan dada. Apalagi yang baru saja dialami.
Ditengah tengah tempat kita belajar. Di saat baru saja kita mendeklarasikan
sumpah di delapan puluh tiga tahun yang lalu. Dan barangkali memang kita tak
pernah tahu apa sebenarnya sumpah itu jika diperhadapkan dengan sektarianisme
yang kalap kita belabela.
Bencana juga bisa kita pahami sebagai alam yang hendak berkata,
kepada sesiapa saja yang tumbuh diatasnya. Bahwa alam tak selamanya berdiam
diri menerima aksi, ia bereaksi. Sebagaimana bencana, barangkali dari apa yang
UNM lalui akhirakhir ini adalah bahasa yang hendak didengarkan, bahwa di
dalamnya semuanya tak dalam situasi yang baikbaik saja.