Sampan Sampang; Di larung Ketidakpastian

Seperti sampan yang melarung pada samudera yang buas. Tanpa kendali, tanpa pegangan, dilarung badai ketidakpastian. Hak untuk mengimani keyakinan harus berhadapan diametris dengan kekuasaan yang beringas. Agama yang mayor, agama kolektiv yang disulut emosi. Dimana hak berkeyakinan diterjemahkan dengan cara yang intoleran, sehingga toleransi beragama sekali lagi harus didefenisikan dengan cara yang monolitik. Keyakinan yang baik adalah keyakinan yang mendaku. Iman yang bukan ‘mereka’, melainka ‘kita’. Dan malangnya, ‘kekitaan’ yang irasional dan antidialogis  selalu diakhiri dengan pembumihangusan.

Beberapa waktu yang lalu, secara dominatif, masyarakat Sampang seakan membenarkan tesis Emile Durkheim, bahwa masyarakat secara instrinstik memiliki kekuatan untuk menekan. Yang mana pada kasus Sampang, ditengahtengah masyarakat yang dikenal religius itu, menempatkan agama sebagai apparatus yang membenarkan perilaku kolektiv berupa pengusiran terhadap pengungsi penganut Syiah dari gedung olah raga Sampang. Dimana masyarakat dengan episentrum religius berbondong-bondong mengusir penganut Syiah dengan bahasa yang imperative; menekan.

Sudah hampir dua tahun kasus ini tidak mendapatkan kepastian dari pemerintah. Setelah pada Agustus 2012 lalu, warga Syiah diusir dari kediamannya, sampai rumahrumah yang didiami warga Syiah dibakar jago merah oleh massa yang beringas. Pasca kejadian itu banyak upaya yang telah diambil, namun sampai saat ini kasus ini kembali hangat dibicarakan di media massa, akibat kamis kemarin (20 juni 2013) kembali naik kepermukaan pemberitaan. Yang paling memiriskan dari kejadian yang hampir menelan jiwa ini, terjadi setelah Presiden SBY menerima pengharggaan dari FAO tentang pembelaannya terhadap Hak Asasi Manusia. Dimana kejadian ini hanya berselang empat hari dari serah terima penghargaan yang diberikan di kota Roma Itali.

Pemerintah yang Absen  

Secara sosiologis, apa yang dialami oleh warga Syiah Sampang adalah fakta sosial yang teramati dan bisa dicarikan solusinya. Namun kenyataannya berkata lain. Dalam kacamata hukum fenomena ini sepertinya sulit menemukan problem solvingnya, dimana pemerintah memiliki kesan yang abai terhadap fakta yang seringkali terjadi di tanah air. Bukan rahasia lagi bahwasannya negeri ini kerap kali menghadapi distopia dimanamana. Dimana mengakibatkan terjadinya perpecahan yang merombak seluruh tatanan kekerabatan masyarakat.

Jika mengacu pada dasar hukum Negara kita, bangsa ini adalah Negara yang selalu mengedepankan semangat toleransinya. Bahkan dalam pasal dua setelah sila pertama dalam pancasila, menggunakan kata kemanusiaan dan beradab dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia yang toleran. Artinya cermin dari sila kedua Panca Sila,  selalu tergambar  pada  masyarakat Indonesia  yang memproyeksikan makna sila kedua dalam seluruh tindak perilakunya ditengahtengah kehidupan kolektivnya.

Bahkan dalam sila selanjutnya, yakni sila ke empat, mengandung makna khas yang harus dianut oleh pemerintah yang ada di Negeri ini. “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan Kebijaksanaan, permusyawaratan dan perwakilan”,  maksudnya secara kepemimpinan seluruh tata pemerintahan di Negara ini baik formal maupun nonformal harus mengedepankan sisi kemanusiaan yang dilandasi pada hikmat dan kebijaksaan yang adihulung. Kemudian kebijaksanaan yang dimaksud di salurkan lewat proses dialogis antar perwakilan golongan maupun kelompok dengan asas permufakatan. 

Namun pemerintah selalu saja gagal hadir ditengah-tengah masyarakat dalam menyikapi kasus-kasus semisal Sampang. Demikian sikap pemerintah lebih dikarenakan terlalu mengedepankan aspek birokratis yang menghambat proses penyelesaian masalah.

Gagalnya Peran Agamawan

Dahulu dijaman kerasulan ada yang disebut dengan istilah tasyri’i, dimana istilah yang dimaksud merujuk pada situasi ketika terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat maupun pengikutnya, ummat selalu mengembalikan pendapatnya kepada Nabi. Atau dengan kata lain, pendapat Nabi selalu dijadikan rujukan utama ketika terjadi selisih paham ditengah-tengah ummat. Ummat datang mengajukan perbedaan, Nabi menjawab kemudian masalah terselesaikan. Kira-kira begitulah prosesnya.

Namun sekarang, ada agagium yang membenarkan perpecahan ummat akhir-akhir ini, bunyinya sungguh menggambarkan bahwa peran pemimpin agama adalah titik sentra yang bisa mendatangkan masalah, yakni ‘Ummat pecah karena Imamnya’. Dijaman sekarang, peran pemimpin agama sungguhlah penting dan genting. Bisa kita lihat betapa banyaknya tumbuh kelompok keagamaan yang selalu gesit dalam mendakwahkan ajaran keyakinannya ditengah masyarakat. Dari kejadian ini tentulah membahagiakan. Itu artinya Agama hidup ditengah-tengah masyarakat kita.

Namun kejadian itu juga bisa mendua, diakibatkan peran pemimpin Agamawan itu sendiri. Bisa kita lihat dari kasus Sampang dimana Fatwa MUI atau perkataan Ulama bisa mendatangkan gejolak sosial yang negatif. Hal ini diakibatkan Agama dan penganutnya masih jauh dari kesan masyarakat yang toleran. Sehingga seakan-akan agama harus dijamah pada ruang persepsi yang monolitik. Apa lagi jika peran pemimpin keagamaan mengambil sikap yang arogan terhadap keyakinan yang berbeda. Dimana ummat biasanya dengan sikap yang antidialog menyerap mentah-mentah dengan tafsiran yang tertutup dari apa yang dipetuahkan oleh pemimpin agamanya. Hal ini tentu mengindikasikan bahwa peran ulama begitu signifikan di tengah-tengah masyarakat.

Seharusnya, peran pemimpin agama tidak selalu mengambil sikap yang tertutup jika menghadapi permasalahan seperti kasus Sampang. Apalagi sudah sampai aksi yang bisa menghilangkan hak hidup seseorang. Perlu adanya upaya transformasi nilai dari para pemimpin agama dalam kasus semisal Sampang, bahwa apa yang terjadi disana adalah bukan semata-mata kasus agama melainkan sudah sampai mengenai hak asasi manusia seseorang. Dimana Peristiwa Sampang bukanlah permasalahan Agama maupun sekte tertentu, lebih dari itu kasus Sampang adalah soal Kemanusiaan.