Lahir pada tahun 1942. Seorang filsuf politik
Itali. Pemikir yang memadukan ciri khas sastrawi dalam memediasi pemikiran
filsafatnya yang terkadang rumit dan khas. Agamben menjadi pemikir yang
menginspirasi dunia internasional dengan pemikirannya mengenai konsep
biopolotiknya dan konsepnya tentang “pengungsi.”
Agamben dibesarkan dalam tradisi pemikiran
Heidegger dan Hegel. Bahkan ia beberapa kali terlibat dalam kelas Heidegger
yang membincang persoalanpersoalan yang mengendap dan belum terselesaikan dalam
pemikiran Hegel dan Heraklitus.
Ia mendapatkan gelar doktoralnya dengan
menyelesaikan karya yang membahas pemikiran politik Simon Weil. Dan mengajar
dibanyak universitas terutama Prancis, Swiss, Itali dan As.
Pemikiran Agamben ditampakkan oleh komentatornya
sebagai pemikir yang mengurungkan tata sistematis. Cenderung menghindari
endapan enigmatik pada satu kumpulan yang rigoris dan berpencarpencar secara
spiral. Seperti Filsuf kontemporer lainnya, pemikirannya mesti dipahami dalam
logika yang bersebelahan dengan teksteks yang ditulisnya. Atau dengan kata
lain, kita diajak untuk memasuki kawah makna yang tersembunyi di balik teksteks
yang bermunculan.
Hampir beberapa ide dasar Agamben dipengaruhi
oleh Hannah Arendt, Heidegger, Carl Schmidt, Aristoteles dan Hegel. Terutama
pada konsep bahasa dan metafisika dan konsep biopolitiknya.
Dalam salah satu eksposisinya, Agamben,
memberikan preferensi baru dalam menafsirkan konsep manusia dalam kaitannya
dengan bahasa sebagai mahluk yang terlabeli sebagai zone politikon.
Pengandaian ini akhirnya harus kembali mempertegas konsep manusia dari beragam penafsiran yang apolitis. Dalam konteks inilah Agamben memperkenalkan konsep biopolitiknya yang didasari dari pembahasannya terhadap manusia dan atributatribut politik dan hak asasinya.
Pengandaian ini akhirnya harus kembali mempertegas konsep manusia dari beragam penafsiran yang apolitis. Dalam konteks inilah Agamben memperkenalkan konsep biopolitiknya yang didasari dari pembahasannya terhadap manusia dan atributatribut politik dan hak asasinya.
Dalam Language and Death, Agamben mengangkat
pertanyaan mendasar tentang hubungan filsafat dan puisi dengan menanyakan
apakah puisi memungkinkan pengalaman yang berbeda dari bahasa dibandingkan
dengan dalam filsafat tentang "suara pengalaman yang tak terkatakan".
Pada pertanyaan ini Agamben menelusuri penggunaan bahasa dalam filsafat dan
Puisi dalam menengahi konsep dalam saat permunculannya. Dengan begitu Agamben
masuk pada persoalan imanensi dan trasendensi yakni tentang keterbatasan dan
ketakterbatasan.
Dalam lingkup politik, Agamben merumuskan
biopolitiknya dengan banyak menyoroti soalsoal hak asasi manusia yang
dilihatnya sebagai label yang tersusun dari jalinan kekuasaan dalam hal
politik. Dapat juga dikatakan filsafat politik Agamben, adalah filsafat
seharihari (bare life). Pada lingkup inilah ia memperkenalkan konsep
“pengungsi” dalam gagasan politiknya terhadap pemberlakuan makna kedaulatan
pada manusia.
Dalam era kontemporer sekarang dimana hampir 12
juta manusia yang menjadi pengungsi di beberapa kawasan bahkan di negaranya
sendiri, pemikiran politik pemikir yang menyenangi puisi ini memiliki relevansinya.
Ia menerangkan bahwa politik saat ini membawa konsekuensi yang mengeleminasi
kedaulatan manusia yang seutuhnya.
Dalam pemikirannya, ia menolak rumusan manusia
yang terlanjur terberi dari konsepkonsep terdahulu yang dianggapnya terlalu
membawa manusia pada dimensi yang apolitik. Bagi Agamben manusia dalam kaitanya
dengan “dare life” adalah manusia yang terekontruksi oleh dimensi
kekuasaan yang mendeterminasi. Pada sudut pandang inilah Agamben mengambil
titik tolak mengenai manusia yang “telanjang”. Dalam konsep ini maka ia mulai
merumuskan hakhak manusia sebagai mahluk politik dan mahluk yang natural.
Agamben mengilustrasikan bahwa ada semacam
persitegangan antara hak asasi manusia dan kekuasaan. Dalam negaranegara maju,
kekuasaan cenderung mengakui hakhak manusia dalam lingkup kewarganegaraan,
semantara di tengahtengah masyarakat otoriter kekuasaan cenderung mengebiri
hakhak manusia dalam kedaulatannya. Dengan begini, ada ambilavalensi terhadap
konsepkonsep yang ditumbuhkan dalam pemikiran politik modern sekarang.
Maka dari itu Agamben merumuskan hakhak menjadi
dua dimensi dalam kaitannya dengan konsep manusianya. Menurutnya manusia
memiliki hakhak dasar yang dalam terminologi politik belum tentu diakui. Dari
sini kita bisa memahami konsep “pengungsi” yang terkenal itu. Ia membilangkan
pada kasus pengungsi ada hakhak dasar manusia yang terhambat dengan
terminologiterminologi politik. Pada kasus pengungsi hakhak untuk hidup menjadi
hal yang absurd ketika mereka kehilangan kewarganegaraannya.
Dua dimensi hak manusia yang diperkenalkan
Agamben yakni; hak pasif dan hak aktif. Masih menurut pembagiannya, hak pasif
manusia adalah apa yang secara natural dimiliki oleh manusia dalam konsep
“keterlanjangannya” yang paling purba. Dalam kaitannya dengan hak politik,
manusia dirumuskan dalam terminologi kewarganageraan yang jika kewarganegaraan
hilang maka hakhak yang mengikutinya pun akan terabaikan. Pada dimensi hak
aktiflah manusia diharuskan untuk menuntut hakhak kewarganegaraannya yang
terabaikan pada dimensi perpolitikan.
Pada pembagian tentang hakhak inilah pemikiran
Agamben mendapat relevansinya terhadapa situasi politik internasional. Hal ini
dikarenakan di luar sana begitu banyak hakhak manusia yang banyak terabaikan.
Dimana manusia menurut Agamben, dalam konsepkonsep moderniatas, manusia
diilustrasikan cenderung membawa isuisu yang berkaitan dengan satu ras
masyarakat tertentu.