Baru-baru ini, tepatnya di pekan pertama bulan juli 2012
ini, saya terlanda kebahagiaan yang amat mendalam. Setidaknya, ada dua momentum
strategis dari gerakan literasi sementara mengedar. Pertama, terbitnya buku
Narasi Cinta dan Kemanusiaan, yang ditulis oleh Dion Anak Zaman dan diterbitkan
oleh Boetta Ilmoe. Lounchingnya telah dilaksanakan tanggal 7 juli 2012,
bertempat di gedung Pertiwi, pukul 20.00-23.00 waktu setempat, Butta
Toa-Bantaeng.
Terus terang, saya sendiri tidak menyangka akan begitu
banyaknya apresiasi dari kehadiran buku itu. Mulai dari begitu banyaknya
komentar yang ditujukan kepada buku tersebut, dukungan spiritual dan material
saat dilounching yang begitu dahsyat dan banyak, jumlah undangan yang hadir
memenuhi gedung, hingga kehadiran Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, yang juga
kami tidak duga sebelumnya.
Banyaknya
apresiasi dan tingginya rasa antusias, serta sambutan yang meriah atas buku
itu, saya menduga karena, pertama, temanya buku itu yang bertutur tentang cinta
dan kemanusiaan, sebuah tema yang abadi dalam dimensi kemanusiaan kita. Kedua,
karena faktor penulisnya, yang memang selama ini telah mengedar, malang
melintang dalam aktivitas berkesenian dan pemberdayaan masyarakat. Ketiga,
sebab digarap tidak dengan motif-motif dan kerja-kerja material, tetapi dengan
semangat yang amat spiritual. Keempat, jalur penerbitan yang dipilih secara
indie, yang menyebabkan semua yang terlibat dalam proses penerbitannya dapat
memaksimalkan kemerdekaannya dalam berkontribusi. Kelima, situasi
kelompok-kelompok sosial dan komunitas-komunitas sosial di Butta Toa-Bantaeng,
sudah mulai merasakan getaran-getaran dari gerakan literasi.
Kedua,
terbitnya buku Jejak Dunia Yang Retak, yang baru-baru ini, dihadiahkan kepada
saya oleh para penulisnya. Buku ini adalah kumpulan tulisan dari lima orang
anak muda, yang selama ini cukup intens beredar dipusaran komunitas literasi:
Paradigma Insitut, Papirus Community, dan Boetta Ilmoe. Kelima penulis itu adalah:
Muchniar Az (Niart), Syamsu Alam (Alamyin), Takim Mustakim, Bahrul Amsal dan
Asran Lallang Salam. Tiga orang dari penulis tersebut, Muchniar, Alam dan Asran
, malah terlibat langsung dalam penggarapan buku Narasi Cinta Dan Kemanusiaan.
Muchniar selaku pemberi prolog, Alam selaku desainer sampul dan layout,
sedangkan Asran salah seorang editornya.
Penulis-penulis
muda tersebut, kalau boleh saya katakan mereka adalah kaum muda potensial dalam
kepenulisan, yang selama ini bahu membahu untuk mendorong gerakan literasi di
tiga komunitas tersebut. Jujur saya katakan, ada kebahagiaan yang tak terkira
dengan kehadiran buku Jejak Dunia Yang Retak ini. Apalagi mereka menyebut saya
sebagai salah seorang mentornya, di pengantar buku itu.
Meski
buku itu tidak diterbitkan oleh Paradigma, Papirus atau Boetta Ilmoe – karena
memang ketiga komunitas ini telah beberapa kali menerbitkan buku secara indie –
tetapi spirit dari ketiga komunitas ini cukup memengaruhi. Sehingga, bolehlah
saya katakan spiritnya adalah spirit indie, tetapi diterbitkan secara
non-indie, digarap secara profesional oleh penerbit Carabaca Yogyakarta.
Saya sendiri termasuk yang mendorong agar diterbitkan
mengikuti mainstrem dunia penerbitan, karena memang targetnya dari penerbitan
buku itu, sebagai pembuktian bahwa menerbitkan buku banyak jalan yang bisa
digunakan. Sehingga, bagi kami yang bergerak dalam dunia gerakan literasi makin
kaya akan perspektif dalam mendorong gerakan ini.
Buku Jejak Dunia Yang Retak ini, diberi prolog oleh Eko Prasetyo, seorang penulis buku produktif dari Resist-Yogyakarta, dan dieditori oleh Sabbara, seorang penulis dan peneliti di Litbang Kementrian Agama, yang juga banyak menghiasi pergulatan pemikiran baik di Paradigma, Papirus maupun Boetta Ilmoe. Dan ini yang agak khas, karena diberi epilog oleh Dul Abdul Rahman, seorang penulis, novelis, cerpenis, yang juga memberikan epilog pada buku Narasi Cinta Dan Kemanusiaan.
Bolehlah saya nyatakan bahwa, hadirnya kedua buku tersebut, dalam rentang waktu yang nyaris bersamaan, semakin meyakinkan saya akan getaran literasi yang akan membuahkan gempa literasi. Perspektif kami makin luas, akan strategi gerakan literasi, karena sudah ada bentuk-bentuknya yang terakumulasi dalam model-model gerakan. Yang diperlukan adalah tetap menjaga api literasi tetap membara dan menyala pada setiap pegiat literasi, khususnya yang telah mengedar di tiga komunitas tersebut: Paradigma, Papirus dan Boetta Ilmoe.
Buku Jejak Dunia Yang Retak ini, diberi prolog oleh Eko Prasetyo, seorang penulis buku produktif dari Resist-Yogyakarta, dan dieditori oleh Sabbara, seorang penulis dan peneliti di Litbang Kementrian Agama, yang juga banyak menghiasi pergulatan pemikiran baik di Paradigma, Papirus maupun Boetta Ilmoe. Dan ini yang agak khas, karena diberi epilog oleh Dul Abdul Rahman, seorang penulis, novelis, cerpenis, yang juga memberikan epilog pada buku Narasi Cinta Dan Kemanusiaan.
Bolehlah saya nyatakan bahwa, hadirnya kedua buku tersebut, dalam rentang waktu yang nyaris bersamaan, semakin meyakinkan saya akan getaran literasi yang akan membuahkan gempa literasi. Perspektif kami makin luas, akan strategi gerakan literasi, karena sudah ada bentuk-bentuknya yang terakumulasi dalam model-model gerakan. Yang diperlukan adalah tetap menjaga api literasi tetap membara dan menyala pada setiap pegiat literasi, khususnya yang telah mengedar di tiga komunitas tersebut: Paradigma, Papirus dan Boetta Ilmoe.
Rasanya ingin segera memberi ucapan selamat kepada diri
sendiri, atas kebahagiaan yang begitu melimpah ini, karena memang telah terasa
getarannya. Tetapi sebelumnya, terlebih dahulu kuucapkan selamat kepada kalian
berlima, para penulis muda, buah cerahan pikiranmu dan benih keruhanian hatimu,
senantiasa kami tunggu pada barisan para pegiat literasi, di bawah naungan
spirit alturuisme, seperti yang telah didedahkan oleh para altruist sebelum
kita. Wallahu ‘alam bissawab.
Oleh Sulhan Yusuf
(Pegiat Komunitas dan Gerakan Literasi Makassar)