Hanya satu kata, lawan. Begitu
sajak yang pernah kumandang dengan ritmik, semacam do’a bagi kalangan
aktivis-intelektual Indonesia. Sajak yang bukan hasil dari karya ilmiah dengan
klasifikasi yang ketat tentang standar mutu menurut logika sains. Sebuah kredo
layaknya kitab yang berisikan wahyu langit untuk meneguhkan iman yang dianggap
menyimpang bagi sebahagian besar penganut keyakinan mayoritas.
Namun Hanya satu kata,
lawan, adalah kalimah yang lahir dari langitlangit yang jauh, langit yang
selalu mendung dari seorang Wiji Thukul. Jauh dari kemapanan masyarakat banyak,
di mana dalam otoritas tunggal menjadi hal yang dianggap menyimpang dan
terlampau meragukan. Pada sajak ini, Wiji Thukul hendak menampik sesuatu yang
terlampau mapan, kehidupan yang secara alamiah merupakan produk dari kuasa.
Bagaikan godam, Wiji memukulnya dengan sebilah kata. Hanya satu kata,
lawan adalah iman bagi seorang Wijhi tukul, iman yang bukan hidup
bersemayam dalam ruang dada seseorang melainkan keyakinan yang harus mencari
sepetak tanah untuk disemaikan.
Tetapi selayaknya layangan, jika telah diterbangkan maka tak ada batas yang mampu untuk menghalanginya untuk disaksikan. Hanya saja, layangan yang diterbangkan oleh Wiji Thukul, tak mampu menampik batas yang terlampau kokoh dididirikan oleh kuasa, Batas yang menghalangi angin untuk melambungkan layangan yang diterbangkan Thukul. Batas yang berujung pada kenihilan identitas, Thukul Dihilangkan. Lebih malangnya lagi, hanya sedikit orang yang mau untuk memegang kembali tali kendali layangan Thukul yang sudah lama melayang di angkasa tanpa nahkoda.
Disuatu waktu ia menulis;
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakan!
****
Bulan sekarang adalah bulan Mei.
Dibulan ini, 15 tahun yang lalu, reformasi masih menjadi embrio. Pergolakan
ekonomi global meresesi sampai mengguncang sendisendi kehidupan Indonesia. Rejim
orde baru guyah. Pergolakan terjadi dimanamana. Di kotakota besar gerakan
protes merebak. Media menjadi jendela yang ramai dengan gerakan massif
mahasiswa. Menyebarluaskan satu isyarat penting; Indonesia sedang mengalami
guncangan sosialpolitik.
Tri Sakti adalah episentrum tragedika yang menyulut empati dan emosi. Mahasiswa meradang kemudian geram. Kampus kemudian penuh gonjangganjing. Yang semula adalah gerakan sektoral akhirnya mendorong daya tarik hingga kepinggiran; mahasiswa di pusat, maupun kotakota lainnya akhirnya bergerak. Sebuah perlawanan akhirnya menguniversal; menerjemahkan momentum krisis menjadi kritik.
Dan kita akhirnya mengerti;
sesungguhnya suara itu tak bisa dibungkam. Lebih dari dua puluh tahun kampus
dibawah bayangbayang NKK-BKK orba, apa yang bisa memasung nyanyian bimbang
seorang dibungkam. Jika tembok tebal kuasa telah ditanami bibit perlawanan.
Sebagaimana Thukul menulisnya dalam sebait puisinya;
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun–tirani harus tumbang!
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun–tirani harus tumbang!
Dan kuasa bukanlah beton yang
tak mengenal keretakan. Kekuasaan adalah situasi yang mudah goyah dengan sekali
sapuan yang telah lama mengendap. Dimana sebuah “peristiwa” bisa datang dengan
tibatiba. Sesuatu yang disebut oleh Alain Badiou sebagai “yang politis”.
Sehingga kejadian dari “yang politik” menjadi runyam oleh sebuah “even”.
Nampaknya di tahuntahun itu, dimana sebuah “peristiwa” telah melampaui “representasi” dari “yang politik”, menjadi batu sandungan yang akhirnya harus takluk pada politik electoral yang kehilangan dukungan dari “dewandewan rakyat” yang pada situasi yang militan telah mereposisi kepentingannya. Hingga akhirnya sebuah jalan yang dalam bahasa Badiou “adalah premis dasar komunis” menjadi panca di tengah situasi demokrasi yang hanya memunculkan wajah lama dari rejim yang berkuasa selama tiga puluh tahun lebih.
Dan barangkali gerakan yang hendak membesar itu harus mengendapkan makna militansinya pada terma yang di taklukkan; reformasi. Yang kita tahu reformasi adalah benih revolusi yang kemudian menguap begitu saja. Namun kekuatan apa yang bisa meredam suara sumbang?
Lima belas tahun sudah sebuah peristiwa kemudian sayupmayup terlupakan. Menguap dari ingatan kolektiv bangsa Indonesia, namun, seperti kata Goenawan Mohammad mungkin sejarah seperti origami, mengandalkan sebuah bahan yang mudah melayang; ingatan. Maka setidaknya sebuah penanda Milan Kundera bisa mengilustrasikan apa yang kita alami dari apa yang dibilangkannya; perjuangan manusia sesungguhnya adalah perjuangan melawan lupa?[]