(Tulisan ini masih berbentuk draf dan hanya
berupa analisis sederhana sehingga tidak layak untuk dicopy)
Kita pernah dibesarkan dengan
cerita; kurakura dan kancil. Kurang lebih seperti ini ceritanya; suatu waktu,
di tengah hutan belantara, hiduplah seekor kancil. Hidupnya riang. Ia senang
berlari. Hampir setengah hutan telah ia kelilingi. Si Kancil adalah hewan yang gesit,
dengan tungkai kaki yang ramping. Dengan kakinya yang cepat membuatnya menjadi
hewan yang tiada tara gesitnya. Lebih dari itu, si Kancil adalah hewan yang
cerdas. Di hutan, kancil tak sendirian, ada si Kurakura; hewan yang lambat,
gemuk dan bercangkang keras. Dengan demikian kurakura menjadi hewan yang paling
lambat bergerak. Jangankan mengelilingi hutan, setengah dari belantara saja
tak pernah ia jelajahi.
Singkat cerita, di suatu waktu, terbilang kancil
dan kurakura hendak mengunjuk kebolehannya. Mereka ingin beradu cepat.
Dipilihlah suatu tempat di sudut hutan. Disaksikan oleh seluruh penghuni hutan
untuk dijadikan arena berlari. Dilihat dari fisik tentu si Kurakura akan kalah,
tetapi tidak, pemenangnya meleset dari prakiraan seluruh penghuni hutan,
termasuk sang raja, singa hutan. Si Kurakura keluar sebagai juaranya.
Zaman Maya
Zaman sekarang adalah zaman yang sedang
terengahengah. Kemajuan teknik berkomunikasi membuat konsep jarak dan waktu
gagal memberikan pengertian yang humanis. Media informasi dengan sokongan teknologi
yang super canggih, menyituasikan kenyataan kian sempit. Dunia dengan segala
isinya telah diredusir berdasarkan kecepatan bitebite. Dunia sekarang
barangkali mendapati ilustrasinya pada pepatah kuno; dunia memanglah tak selebar
daun kelor.
Dengan sokongan isu globalisasi dan
universalisasi, kita mengenal konsep desa global. Batasbatas geografis
telah bergeser tidak saja pada pengertian yang konotatif, melainkan telah
menyempitkan makna sejatinya. Batasbatas geografis yang semula diukur
berdasarkan ukuran kenyataan, telah diambil alih oleh medio dunia
maya yang mengaburkan makna batasbatas kultural sebuah kawasan. Dampak dari
ilustrasi demikian, secara kenyataan dapat kita ukur berdasarkan hilangnya
ukuranukuran kultural yang menjadi kulminasi dari sebuah peradaban.
Globalisasi memanglah kenyataan sejarah yang tak
bias ditampik. Namun, kemajuan sarana yang begitu pesat, secara kultural
memberikan hamparan kenyataan yang begitu pelik. Perjumpaan teknologi yang
canggih pada masamasa masyarakat yang digerakan berdasarkan nalar kultural,
masih membayangi situasi yang mengisyarakatkan betapa bangunan mentalitas
masyarakat dunia ketiga menjadi terbelakang. Perhelatan yang paling sering kita
temukan adalah kesenjangan antara kemajuan pengetahuan dengan derasnya alatalat
komunikasi yang berbau tekhnologi tinggi. Situasi ini kita sebut saja
sebagai cultural leg.
Dalam konsep waktu, kesenjangan kebudayaan bisa
kita temukan pada pemaknaan masyarakat berkembang dalam mengartikulasikan dunia
kenyataannya berdasarkan ukuran yang termuati pada konsep modernitas. Situasi
waktu yang dijalani memungkinkan pemaknaan yang ditempatkan pada mobilisasi
waktu yang secara global haruslah bermakna modern. Globalisasi barangkali
adalah temuan kasus yang bisa kita angkat sebagai ilustrasi yang dimaksud.
Menjadi modern, berarti intrepetasi terhadap kenyataan harus termuati makna
waktu yang harus terukur betul. Dimana moda hidup harus tepat dan cepat
pada schedule modernitas. Kenyataan ini dalam persinggungannya
dengan kapitalisme, dibilangkan oleh Martin J Lee sebagai masyarakat
pelahap waktu senggang.
Percepatan Waku dan Filosofi Kura-kura
Keterburuburan adalah terma yang barangkali
tepat untuk mengilustrasikan zaman sekarang. Dimana kerja adalah media yang
menengahi manusia dalam persentuhannya dengan kenyataan. Kerja menjadi adab
kolektiv masyarakat kontemporer dalam menerjemahkan tujuan, harapan, dan
citacita dalam menjalani rutinitas yang dilalui. Dimana ketepatan dan kecepatan
waktu adalah ukuran efektifitas dan efesiensi dalam menilai keunggulan suatu
pekerjaan.
Percepatan yang sama pun tidak saja menjadi moda
hidup, melainkan sudah menjadi kebudayaan yang tak terhindarkan. Dimana seluruh
level hidup, menjadikan waktu sebagai media pembebasan yang berharga sangat
sulit untuk dimaknai. Dampak secara kultural adalah hilangnya esensialitas
waktu senggang. Lebih jauh lagi, dari segi pemaknaan, diwaktu sekarang,
kepemilikan waktu senggang menjadi hal yang rapatmapat terkait dengan gerak
laju kapitalisme.
Keberadaan waktu senggang dalam alam globalisasi
selalu dimaknai dengan pemaknaan yang eksterior. Waktu yang dimiliki
diartikulasikan berdasarkan kebutuhan yang konsumtif dan berbau gempita. Hiruk
pikuk kota dengan deret ritus ritual kerjanya, paling tidak menggambarkan
bagaimana konsumsi waktu senggang menjadi ritual yang berbau capital.
Mall, pubpub, rumah bernyanyi dan sederet tempat hiburan adalah ruang eksterior
yang mendangkalkan esensialitas waktu senggang yang dimiliki. Fransiskus Simon,
paling tidak memberikan penekanan betapa di kotakota besar waktu senggang habis
dilahap oleh tampilan eksterioritas urban yang gempita.
Sementara itu, makna waktu senggang yang sudah
termuati makna capital, dengan sendirinya menyituasikan keadaan kebudayaan yang
kosong. Di dalam situasi kekosongan inilah, masyarakat gampang untuk digerakan
oleh prasangkaprasangka kebudayaan luar. Setidaknya alam kehidupan kota,
menjadi batu sandaran bagi kita untuk menyimpulkan.
Namun setidaknya filosofi dari kisah
kurakura dan kancil memiliki semangat perbedaan dengan
arus mainstream. Menyelami waktu senggang seperti yang di imani
oleh Simon adalah perayaan emansipatoris dan membebasakan. Yang mana gejolak
untuk menjadi kekinian bukan berarti berhenti menyelami esensialitas waktu yang
dimiliki. Dimana waktu senggang tidak selalu rapat pada dimensi eksterioritas
melainkan memasuki dimensi inferioritas yang dimiliki.[]