Banalitas Politik dan Postspiritualitas Partai Agama

Pada dua puluh Mei kemarin, bangsa Indonesia baru saja memperingati hari kebangkitan nasional. Momen yang merefleksikan sikap bangsa atas sejarah hari lahirnya Boedi Utomo dan Sumpah Pemuda. Sikap kebangkitan atas keterjajahan yang dialami Indonesia dari bangsa-bangsa penjajah terdahlu.

Jika ditilik dari sejarah, bangsa Indonesia telah memperingatinya selang selama seratus lima puluh tahun. Dimana bukan waktu yang singkat dalam proses pendewasaannya. Artinya bangsa Indonesia bukan lagi bangsa yang kerdil dan kecil, melainkan bangsa yang selalu tumbuh besar dan  memetik pelajaran ditiap tahunnya untuk menampil perbaikan dari waktu kewaktu. Namun jika kita melihat kenyataan bangsa Indonesia di waktu sekarang, rasa-rasanya bangsa Indonesia banyak mengalami cobaan yang menghambatnya untuk menjadi bangsa yang digdaya. Banyak hal yang membuat kita miris. Salah satunya adalah bidang perpolitikan.

Politik sejatinya adalah penyelenggraan kekuasaan Negara dalam rangka untuk menetapkan tujuan dari suatu kebijakan. Dengan tujuan untuk mengikat kepentingan bersama dalam rangka pemenuhan hak-hak dari seluruh masyarakat. Dalam hal ini selama politik dijalankan atas etika pemenuhan hak-hak rakyatnya, maka suatu bangsa telah menyelenggarakan kekuasaannya dengan baik atas dasar kepentingan bersama.

Tetapi apa yang banyak kita simak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maupun apa yang diberitakan oleh media-media massa justru sebaliknya. Peragaan parlemen yang sering kita saksikan adalah ilustrasi perpolitikan yang banal dan dangkal. Dalam pengertian ini, anggota-anggota dewan sebagai the second hand Politic menampilkan perayaan akan matinya nalar etis berpolitik.

Politik;Banalitas Kekerasan

Banalitas kekerasan pertama kalinya dibilangkan oleh seorang filsuf politik kontemporer Hanna Arend dalam mengkonseptualisasikan situasi pelaku kekerasan yang tak memiliki tanda-tanda pernah berbuat tindak kekerasan. Hal demikian dilihatnya bahwa seorang pelaku kekerasan merasa wajar berbuat demikian (kekerasan) karena mendapatkan legal prosedural dari sistem yang menyituasikannya. Atau dengan kata lain suatu mekanisme kekerasan dapat terjadi berkat adanya dukungan kekuasaan yang membenarkannya.

Apa yang menghebohkan kita dari penyelenggaraan politik tanah air, dengan banyaknya kasus yang menjerat para pelaksana mandat politik rakyat, mendapatkan ilustrasinya dari apa yang dinyatakan oleh Hanna Arendt di waktu yang lain sebagai thoughtlessness (ketiadaan Pikiran).  Thoughtlessness adalah keadaan dimana penyelenggaraan kekerasaan atau kejahatan yang oleh pelaku dilakukan dengan kondisi psikis dan pikiran yang tampak biasa-biasa saja. Dimana kejahatan yang terjadi, dilakukan pada saat normal seperti manusia biasa pada umumnya, tanpa menyadari bahwa apa yang sebenarnya sedang dilakukan adalah sebuah tindak kejahatan.  Bisa kita bayangkan, di saat sedang menjalankan tugas sebagai seorang wakil rakyat yang notabene adalah warga pilihan, seorang koruptor dengan leluasanya menjalankan aksi kejahatannya tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang yang akan di alami oleh Negara dan keberlangsungan hajat orang banyak. Lebih mengecewakan lagi, ketika diproses dan diberikan tindak hukum, dijalani dengan berpenampilan seperti orang yang normal dan tampak lugu

Bisa kita lihat dari banyaknya kasus-kasus korupsi yang menimpa elit-elit parpol di tanah air, yang selama menjalani proses hukum berpenampilan seperti orang yang tak  pernah melakukan kejahatan apapun. Yang mana kesan yang diperankan seperti orang yang tampak religius, bermoral, taat hukum dan lain sebagainya. Dimana salah satu contohnya adalah kasus dagang sapi yang menimpa salah satu kader partai yang berlabelkan agama di tanah air akhir-akhir ini. Kasus yang turut melibatkan perempuan-perempuan cantik, perhiasan, uang dan mobil ini merupakan penanda bahwa kekerasan politik yang dilakukan memiliki spektrum yang luas dengan dukungan kekuasaan di dalamnya. Dimana kekerasan yang berlangsung mendapatkan legitimasinya dari embel-embel agama di belakangnya. Sehingga kekerasan yang ditampilkan adalah kejadian yang tampak normal akibat polesan dari yang berbau agama.

Postspritualisme partai agama

Apa yang dimaksud dengan postspiritualisme adalah keadaan dimana nilai-nilai dari suatu agama baik etis, moral, hukum, dan spritualitas mengalami kelampauan dari agama itu sendiri. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, terbalik dan terjungkirnya sistem tatanan nilai yang dimiliki oleh ajaran yang di anut oleh para penganut suatu agama. Dimana terjadi kekaburan pemaknaan antara yang hak dan yang bathil, yang bermoral dan yang amoral, yang sakral dan yang profane maupun yang halal dan yang haram.

Dari kasus yang menimpa salah satu partai agama di Negara ini, merupakan kondisi yang menjungkirbalikkan seluruh proses edukasi politik dalam era demokrasi sekarang ini. Dalam hal ini partai yang merunut seluruh visi misi politiknya berdasarkan suatu ajaran agama, mendapati dirinya dalam situasi yang tragis. Tentu demikian, karena partai yang bernafaskan agama, notabene adalah partai yang dianggap mengemban amanah politiknya berdasarkan prinsip-prinsip yang berasal dari agama yang bersangkutan. Dimana figur-figur yang ada adalah orang-orang yang dipilih dan dianggap mampu menjalankan amanah berdasarkan prinsip-prisnsip etis agamanya.

Namun apa yang dihadapi sekarang merupakan kenyataan yang sungguh mengenaskan. Oleh sebab terbaliknya apa yang dijargonkan dengan apa yang dilaksanakan. Keadaan ini secara kebudayaan adalah cermin buruk yang mengekspresikan dari apa yang di bilangkan oleh Yasraf Amir Pilliang sebagai dromologi politik. Yang mana penggambarannya dapat kita simak yakni, terjadinya pembalikkan dengan percepatan tiada tara atas nilai-nilai etis dalam dimensi politik. Sehingga nilai-nilai yang dianut dalam penyelenggaraan politik mengalami erosi penandaan dengan terjadinya pendangkalan arti dan kehilangan makna secara cepat.

Sehingga dari apa yang kita saksikan dalam pelaksanaan demokrasi pada perpolitikan kita adalah keadaan yang kehilangan rujukan nilainya. Oleh karena perpolitikan yang dalam mekanisme dan pengaplikasiannya ditampilkan dalam hingar binggar yang sarat kehampaan. Dimana efek dari keadaan demikian adalah degradasi yang membawa masyarakat pada keadaan yang bisa jadi berujung pada sikap apolitis. Hal ini dimungkinkan dengan  sebab maraknya letusan bencana yang menimpa para elit parpol selama ini.

Anakanak dan Masa yang hilang

Dunia anakanak adalah dunia yang penuh dengan keriangan. Di masa anakanak dunia selalu ditafsirkan sebagai kenyataan yang dinamis. Sebuah kenyataan yang tidak hendak untuk diseriusi. Dimana pada kenyataan demikian, kesadaran anakanak tidak sama dengan logika manusia dewasa yang selalu menganggap dunia sebagai masa yang di amanahi tanggung jawab. Singkat kata, kenyataan di masa anakanak adalah kenyataan yang diterima tanpa ada intrepertasi normative. Dunia anakanak adalah dunia bermain.

Maka tak heran jika dimasa kanakkanak, dalam memperkenalkan kenyataan yang akan di jalani kelak, sedikit banyak bersentuhan dengan dunia permainan.  Anakanak dan permainan merupakan dunia yang memiliki hukum logika tersendiri. 

Tidak seperti dunia orang dewasa yang penuh dengan tanggung jawab, aturan, maupun ikatan imperative yang mengikat, dunia anakanak adalah permainan dengan alam kebebasan. Dalam bermain, anakanak bisa melakukan apa saja, tidak ada jejaring kekuasaan berlaku. Dimana permainan menyituasikan anakanak sebagai subjek yang merdeka, tanpa harus khawatir melakukan sesuatu. Di waktu inilah daya imajinasi mendapatkan posisinya sebagai bahasa anakanak.

Kaum Muda Menentang Kapitalisme Global

(Tulisan ini merupakan tulisan di sekitar tahun 2006/2007, dengan telah mengalami editan sanasini)

Hati nurani pasti terketuk
pada titik ketertindasan dari hak-hak yang ada
Maka Kaum muda adalah hati nurani
Yang selalu berteriak dengan semangat perlawanan terhadap
Penindasan apapun.

Sistem ekonomi kapitalisme memiliki mekanisme kerja  berdasarkan  tiga komponen utama yakni kaum pemodal, tenaga kerja, dan pasar melalui corak hubungan produksi. Keuntungan kapital kaum pemodal, telah melahirkan banyak implikasi terhadap kondisi masyarakat yang dijadikan sebagai lahan komoditinya. Proses kerja dari tiga komponen basis struktur kemudian mengarahkan kita pada arena pasar bebas, dimana di dalamnya terjadi pembantaian secara massal akan nasib berjuta-juta manusia.

Lahirnya kesenjangan kelas, bertambahnya masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan, banyaknya anak-anak didik yang putus sekolah, berdiri dan bertambahnya gedung-gedung pencakar langit hingga sampai menyituasikan kondisi masyarakat yang berwatak konsumerisme adalah beberapa fenomena yang lahir akibat permainan apik dari sistem kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme dengan perangkat hegemonik melalui mekanisme penghisapan dan penindasan, telah melahirkan penjajahan bergaya baru dengan cara konsep depedensi ekonomi. Dampaknya cukup luar biasa terhadap segala sendi kehidupan umat manusia.

Zaman

Zaman tak selamanya bisa dilawan. Yang mana di suatu waktu, arti sebuah perlawanan adalah persepsi yang dibangun dari situasi yang melingkupi. Zaman boleh saja meninggalkan halhal yang kita jaga dari percepatan waktu. Tetapi kekuatan sebuah perlawanan selalu bermula dari seberapa besar persepsi yang kita berikan kepada kenyataan. Dimana pada kekuatan persepsi, kenyataan menjadi berbeda dan lain. Barangkali disinilah letak perbedaan orangorang besar, bahwa hakikat kenyataan terkadang membutuhkan pikiran besar.

Togel, Urbanisasi dan Kemiskinan


Di suatu pagi, seperti di harihari biasa; kota yang rapat mapat, aktivitas penduduk yang lalu lalang, jalan raya padat kendaraan, seperti kotakota besar dengan gerak mobilitas yang tinggi, handphone saya berbunyi. Sebuah pesan singkat, kurang lebih begini yang tertulis;

”Dari Udin berhasil sukses menang Togel. Bagi saudara2 kami yang sering kalah dalam permainan angka Togel,, hub Mbah Sugem. 082333854*** dijamin 100% tembus.”

Jika mengandalkan ingatan, hampir di tiap hari, sms serupa masuk melalui handphone saya. Dan barangkali pesan yang serupa pun dialami oleh banyak orang. Togel atau kupon putih, atau apapun namanya, telah menjadi massif. Dengan pola random, nomor diacak, bagi pengirimnya di sana ada keuntungan. Dan ini, pada perhelatan dinamika kehidupan kolektiv, pada tingkat yang paling elementer adalah sebuah masalah sosial.

Kehidupan yang serba cepat, mobilitas yang tinggi, urbanisasi yang menyulap kota, punya ampasnya; kemiskinan. Kemiskinan adalah situasi yang memedihkan. Dari matra ekonomi, barangkali kita miris melihat perkembangan kenaikan kuota orangorang yang tak mampu menghidupi diri maupun keluarganya. Jika kita mengacu pada standar badan pusat statistik, diantara empat belas kriteria, kemiskinan adalah pendapatan ekonomi seseorang yang tak lebih dari enam ratus ribu perhari atau Rp166.697 per kapita per bulan.

Namun kemiskinan, pada analisis yang lebih kompleks, bukan lagi urusan statistik hukum ekonomi. Barangkali pemerintah bisa yakin betul dengan sihir statistik ekonomi makronya, bahwa di tiap kebijakan ekonominya berhasil menyulap si miskn menjadi masyarakat yang merangkak naik 11,66 persen per tahunnya. Namun togel ataupun sejenisnya adalah ilustrasi mental masyarakat yang punya unsur kebudayaannya sendiri.

Togel bukan saja sekedar aktivitas masyarakat arus bawah. Togel adalah sebuah peristiwa. Dahulu, di tahun 80an, togel adalah aktivitas legal yang diumumkan di akhir pekan oleh RRI. Dengan maksud untuk memberikan sumbangan terhadap kegiatan olahraga dengan nama sumbangan dana sosial berhadiah (SDSB). Namun mengalami banyak pertentangan dari banyak pihak termasuk oleh MUI yang mengharamkannya sebagi aktivitas perjudian.

Di tengah-tengah masyarakat miskin, SDSB bermetamorfosis seiring perkembangan kebutuhan yang semakin mendesak. Togel menjadi aktivitas kolektiv yang menyertakan banyak orang. Media loncatan yang diharapkan mendongkrak stratifikasi. Di titik ini, togel melibatkan hitunghitungan, harapan, keluh kesah, emosi mengenai tujuan untuk menggapai hidup makmur. Togel atau aktivitas perjudian semacamnya adalah etalase masyarakat bawah untuk mensejajarkan diri dengan kelas masyarakat  atas. Maka dengan sejumlah taruhan, ada harapan untuk keluar dari lingkaran limbah kemiskinan yang akut.

Urbanisasi dan developmentalisme adalah palu godam yang dahsyat. Pukulannya telah menggiring kehidupan sosio-ekonomi masyarakat menjadi peta yang rinci mendeskripsikan posisi kelaskelas masyarakat.  Betapa gampangya ditemukan kolonikoloni perkotaan yang termarginalkan pada aksesakses perkotaan. Di mana akses kebutuhan sandang, pangan maupun papan, menjadi minim untuk dinikmati oleh masyarakat bawah. Nampak kasat kesenjangan yang mensubordinatkan keberadaan masyarakat miskin hanya sebagai penyuplai kebutuhan pokok kelas atas.

Tumbuh berkembangnya bisnis perumahan yang massif di kotakota besar sebagai syarat urbanisasi juga memiliki dampak yang serius terhadap eksistensi kaum miskin perkotaan. Penghidupan yang menuntut aktivitas yang tinggi dan efisiensi kerja, semakin mempersempit lahan kota untuk dibanguni komplekskompleks elit. Keberadaan bisnis perumahan secara pelanpelan semakin menggusur keberadaan tempat tinggal yang dimiliki oleh kaum miskin kota kewilayahwilayah pinggiran.

Developmentalisme yang pernah diterjemahkan oleh masa orde baru dengan konsep repelita, menghendaki situasi perekonomian yang mapan sebagai penopang gerak laju pertumbuhan kota. Akses yang mendorong akan hal itu adalah investasi yang masuk untuk merangsang pendapatan perkapita di tiap tahunnya. Tumbuh berkembangya pusatpusat hiburan dan perbenlanjaan, secara ekonomi mempengaruhi sebuah kawasan menjadi kota urban yang maju. Keberadaan pusatpusat hiburan dan perbelanjaan, hanya semakin memperparah posisi kelas bawah sebagai bagian yang pasif dalam perannya sebagai masyarakat kota.

Semakin padatnya pembangunan di tempattempat penting, menjadikan pusat sebuah perkotaan tidak lagi terpusat pada satu titik konsenstrasi. Pusat sebagai titik pertemuan tak lagi bisa ditentukan secara defenitif pada kotakota urban. Dengan hadirnya pusat perbelanjaan, pusat administrasi, pusat kebugaran, pusat pendidikan, pusat kesehatan, pusat perumahan yang menyebar dengan perencanaan pembangunan kota, akhirnya semakin memperluas kawasan padat penduduk yang menyingkirkan keberadaan masyarakat marginal.

Di tengah situasi demikianlah, masyarakat kota selalu mereposisi keberadaannya. Ditengarai himpitan ekonomi, tertutupnya akses kesehatan, pendidikan, kebudayaan maupun politik, menyituasikan kalangan kaum miskin kota menjadi orangorang yang bergerak berdasarkan insting hidup dibawah garis kelayakan. Pada akhirnya mentalitas kebudayaan yang dikorup oleh kondisi kota, menempatkan kaum marginal kota menjadi kalangan yang terbelakang.

Kemiskinan seandainya sebagai mahluk biologis, barangkali sudah ditebas. Setidaknya itu yang pernah diucapkan oleh Ali bin Abi Thalib di suatu waktu, menantu Rasulullah. Ilustrasi ini, bisa kita bayangkan betapa berbahayanya kemiskinan. Kemiskinan bisa menjadi lumbung kejahatan. Kekerasan tak jarang selalu berawal dari daerahdaerah kumuh. Namun bukan berarti kemiskinan adalah identik dengan kekerasan. Hanya saja gugatan kemiskinan selalu mendorong kenekatan untuk berbuat sesuatu keluar dari tipologi rasionalitas.

Dahulu Marx punya citacita, sebuah jalan bagi masyarakat kelas bawah untuk keluar dari keterpurukannya. Ia mentaklik revolusi kelas bawah sebagai suluk yang pasti di tengah sejarah masyarakat kapitalis. Namun, ramalannya hanya menjadi rapalan kosong. Kapital semakin massif, industri tumbuh menjamur, kota digerakkan urbanisasi yang pesat, sehingga tinggalah, harapan yang mengendap bersama kemiskinan, dan togel dengan keterlibatan masyarakat bawah adalah bentuk kontra hegemoni bagi mesin besar kapital. Dari togel, uang berputar di tengah pusaran kehidupan kelas tak berpunya. Membangun mekanisme kerjanya sendiri dengan hitungan rumusrumus dengan mimpi yang dikalkulasi.

Waktu Senggang dan Percepatan Globalisasi

(Tulisan ini masih berbentuk draf dan hanya berupa analisis sederhana sehingga tidak layak untuk dicopy)

Kita pernah dibesarkan dengan cerita; kurakura dan kancil. Kurang lebih seperti ini ceritanya; suatu waktu, di tengah hutan belantara, hiduplah seekor kancil. Hidupnya riang. Ia senang berlari. Hampir setengah hutan telah ia kelilingi. Si Kancil adalah hewan yang gesit, dengan tungkai kaki yang ramping. Dengan kakinya yang cepat membuatnya menjadi hewan yang tiada tara gesitnya. Lebih dari itu, si Kancil adalah hewan yang cerdas. Di hutan, kancil tak sendirian, ada si Kurakura; hewan yang lambat, gemuk dan bercangkang keras. Dengan demikian kurakura menjadi hewan yang paling lambat bergerak. Jangankan mengelilingi hutan, setengah dari belantara saja tak pernah ia jelajahi.

Singkat cerita, di suatu waktu, terbilang kancil dan kurakura hendak mengunjuk kebolehannya. Mereka ingin beradu cepat. Dipilihlah suatu tempat di sudut hutan. Disaksikan oleh seluruh penghuni hutan untuk dijadikan arena berlari. Dilihat dari fisik tentu si Kurakura akan kalah, tetapi tidak, pemenangnya meleset dari prakiraan seluruh penghuni hutan, termasuk sang raja, singa hutan. Si Kurakura keluar sebagai juaranya.

Zaman Maya

Zaman sekarang adalah zaman yang sedang terengahengah. Kemajuan teknik berkomunikasi membuat konsep jarak dan waktu gagal memberikan pengertian yang humanis. Media informasi dengan sokongan teknologi yang super canggih, menyituasikan kenyataan kian sempit. Dunia dengan segala isinya telah diredusir berdasarkan kecepatan bitebite. Dunia sekarang barangkali mendapati ilustrasinya pada pepatah kuno; dunia memanglah tak selebar daun kelor.

Dengan sokongan isu globalisasi dan universalisasi, kita mengenal konsep desa global. Batasbatas geografis telah bergeser tidak saja pada pengertian yang konotatif, melainkan telah menyempitkan makna sejatinya. Batasbatas geografis yang semula diukur berdasarkan ukuran kenyataan, telah diambil alih oleh  medio dunia maya yang mengaburkan makna batasbatas kultural sebuah kawasan. Dampak dari ilustrasi demikian, secara kenyataan dapat kita ukur berdasarkan hilangnya ukuranukuran kultural yang menjadi kulminasi dari sebuah peradaban.

Globalisasi memanglah kenyataan sejarah yang tak bias ditampik. Namun, kemajuan sarana yang begitu pesat, secara kultural memberikan hamparan kenyataan yang begitu pelik. Perjumpaan teknologi yang canggih pada masamasa masyarakat yang digerakan berdasarkan nalar kultural, masih membayangi situasi yang mengisyarakatkan betapa bangunan mentalitas masyarakat dunia ketiga menjadi terbelakang. Perhelatan yang paling sering kita temukan adalah kesenjangan antara kemajuan pengetahuan dengan derasnya alatalat komunikasi yang berbau tekhnologi tinggi. Situasi ini kita sebut saja sebagai cultural leg.

Dalam konsep waktu, kesenjangan kebudayaan bisa kita temukan pada pemaknaan masyarakat berkembang dalam mengartikulasikan dunia kenyataannya berdasarkan ukuran yang termuati pada konsep modernitas. Situasi waktu yang dijalani memungkinkan pemaknaan yang ditempatkan pada mobilisasi waktu yang secara global haruslah bermakna modern. Globalisasi barangkali adalah temuan kasus yang bisa kita angkat sebagai ilustrasi yang dimaksud. Menjadi modern, berarti intrepetasi terhadap kenyataan harus termuati makna waktu yang harus terukur betul. Dimana moda hidup harus tepat dan cepat pada schedule modernitas.  Kenyataan ini dalam persinggungannya dengan kapitalisme, dibilangkan oleh Martin J Lee  sebagai masyarakat pelahap waktu senggang.

Percepatan  Waku dan Filosofi Kura-kura

Keterburuburan adalah terma yang barangkali tepat untuk mengilustrasikan zaman sekarang. Dimana kerja adalah media yang menengahi manusia dalam persentuhannya dengan kenyataan. Kerja menjadi adab kolektiv masyarakat kontemporer dalam menerjemahkan tujuan, harapan, dan citacita dalam menjalani rutinitas yang dilalui. Dimana ketepatan dan kecepatan waktu adalah ukuran efektifitas dan efesiensi dalam menilai keunggulan suatu pekerjaan.

Percepatan yang sama pun tidak saja menjadi moda hidup, melainkan sudah menjadi kebudayaan yang tak terhindarkan. Dimana seluruh level hidup, menjadikan waktu sebagai media pembebasan yang berharga sangat sulit untuk dimaknai. Dampak secara kultural adalah hilangnya esensialitas waktu senggang. Lebih jauh lagi, dari segi pemaknaan, diwaktu sekarang, kepemilikan waktu senggang menjadi hal yang rapatmapat terkait dengan gerak laju kapitalisme.

Keberadaan waktu senggang dalam alam globalisasi selalu dimaknai dengan pemaknaan yang eksterior.  Waktu yang dimiliki diartikulasikan berdasarkan kebutuhan yang konsumtif dan berbau gempita. Hiruk pikuk kota dengan deret ritus ritual kerjanya, paling tidak menggambarkan bagaimana konsumsi waktu senggang menjadi ritual yang berbau capital. Mall, pubpub, rumah bernyanyi dan sederet tempat hiburan adalah ruang eksterior yang mendangkalkan esensialitas waktu senggang yang dimiliki. Fransiskus Simon, paling tidak memberikan penekanan betapa di kotakota besar waktu senggang habis dilahap oleh tampilan eksterioritas urban yang gempita.

Sementara itu, makna waktu senggang yang sudah termuati makna capital, dengan sendirinya menyituasikan keadaan kebudayaan yang kosong. Di dalam situasi kekosongan inilah, masyarakat gampang untuk digerakan oleh prasangkaprasangka kebudayaan luar. Setidaknya alam kehidupan kota, menjadi batu sandaran bagi kita untuk menyimpulkan.

Namun setidaknya filosofi dari  kisah kurakura dan kancil memiliki semangat perbedaan dengan arus mainstream.  Menyelami waktu senggang seperti yang di imani oleh Simon adalah perayaan emansipatoris dan membebasakan. Yang mana gejolak untuk menjadi kekinian bukan berarti berhenti menyelami esensialitas waktu yang dimiliki. Dimana waktu senggang tidak selalu rapat pada dimensi eksterioritas melainkan memasuki dimensi inferioritas yang dimiliki.[]


Wiji Thukul, Mei 98

Hanya satu kata, lawan. Begitu sajak yang pernah kumandang dengan ritmik, semacam do’a bagi kalangan aktivis-intelektual Indonesia. Sajak yang bukan hasil dari karya ilmiah dengan klasifikasi yang ketat tentang standar mutu menurut logika sains. Sebuah kredo layaknya kitab yang berisikan wahyu langit untuk meneguhkan iman yang dianggap menyimpang bagi sebahagian besar penganut keyakinan mayoritas.

Namun Hanya satu kata, lawan, adalah kalimah yang lahir dari langitlangit yang jauh, langit yang selalu mendung dari seorang Wiji Thukul. Jauh dari kemapanan masyarakat banyak, di mana dalam otoritas tunggal menjadi hal yang dianggap menyimpang dan terlampau meragukan. Pada sajak ini, Wiji Thukul hendak menampik sesuatu yang terlampau mapan, kehidupan yang secara alamiah merupakan produk dari kuasa. Bagaikan godam, Wiji memukulnya dengan sebilah kata. Hanya satu kata, lawan adalah iman bagi seorang Wijhi tukul, iman yang bukan hidup bersemayam dalam ruang dada seseorang melainkan keyakinan yang harus mencari sepetak tanah untuk disemaikan.

Tetapi selayaknya layangan, jika telah diterbangkan maka tak ada batas yang mampu untuk menghalanginya untuk disaksikan. Hanya saja, layangan yang diterbangkan oleh Wiji Thukul, tak mampu menampik batas yang terlampau kokoh dididirikan oleh kuasa, Batas yang menghalangi angin untuk melambungkan layangan yang diterbangkan Thukul.  Batas yang berujung pada kenihilan identitas, Thukul Dihilangkan. Lebih malangnya lagi, hanya sedikit orang yang mau untuk memegang kembali tali kendali layangan Thukul yang sudah lama melayang di angkasa tanpa nahkoda. 

Huru Hara Kampus; Refleksi Pasca 2 Mei

Kampus tengah tunggang langgang. Kampus mendapati dirinya sedang dalam keadaan terburu-buru. Kebijakan diambil tanpa pikir panjang, tanpa dialog, yang penting bagaimana bisa menang. Gedung dipertinggi otak dijepit diketiak. Didalamnya, formasi budaya pencerahan berlahan-lahan sedang jumpalitan; terguling-guling. Tenaga pengajarnya malas mengembangkan seni kemanusiaan lewat diskursus-diskursus. Mahasiswanya terlebih sedang  dalam demam tinggi; biasanya jika orang sedang terkena demam akut, maka jadinya senang meracau, ngomong sembarangan. Kawan! seisi kampus tengah dalam kondisi bahaya.

Bahaya pertama, mari kita lihat situasinya; ruang budaya kampus atau lingkungan yang paling dekat dari kita; teman-teman kita. Adakah dari mereka yang resah? Jika tidak, maka itu sebuah kesalahan. Sebab seorang mahasiswa harus memiliki ide besar, ide tentang perubahan. Ide besar ini bagi seorang mahasiswa dalam aktivitasnya, selalu dijadikan teropong untuk memandang situasi yang dihadapinya. Jika situasi tidak selaras dengan harapan yang datang dari ide besarnya, maka dari sana datang keresahan. Dari keresahan inilah mahasiswa mengambil jarak dengan situasi untuk merekayasa situasi lingkungannya.

Ide besar dalam pengertian ilmiah sering disinonimkan dengan ideology. ideology ada tiga susun elemen pembentuknya. Salah satu elemen didalamnya adalah unsur yang memberikan pedoman bagaimana cara memberlakukan manusia. Cara pemberlakuan kita terhadap sesama pasti bergantung dari pengetahuan yang kita miliki tentang apa itu manusia. Jika manusia kita pahami dalam batasan seperi benda mati, maka cara kita memberikan pemberlakuan terhadapnya sudah tentu sebagaimana benda mati diperlakukan; seenaknya saja,