… Di setiap masa nampaknya
selalu ada saat yang tak mudah untuk berbicara, tetapi tidak gampang untuk
diam… kita tidak tahu pasti bagaimana persisnya kata-kata akan diberi
harga, dan apakah sebuah isyarat akan sampai. Di luar pintu pada saat
seperti ini, hanya ada mendung atau hujan., atau kebisuan, mungkin
ketidakacuhan. Semuanya teka-teki…
(Goenawan Mohammad)
Apa
yang paling indah dari merangkai pengalaman yang dengannya kita mampu
menyublim pelajaran. Suatu perjalanan hidup yang temporal, yang lekang oleh
waktu, ruang adalah dimensi yang harus dilewati. Manusia berusaha keluar dari
sifat temporalnya menuju ihwal yang mengisyaratkan akan sesuatu hal yang
transenden. Dikatakan demikian karena terkadang pada pengalaman; hiruk-pikuk keramaian, sunyi-sepi kesendirian, di mana manusia bisa
bermetamorfosa menjadi makhluk
“yang lain” dengan aktivitasnya yang hendak mengalami hal-hal yang transenden.
Dahulu,
orang Yunani menyebut aktivitas semacam itu
dengan Theoria. Theoria bagi orang-orang Yunani erat kaitannya
dengan tema-tema kosmologis.
Melakukan theoria, merupakan kegiatan tertinggi manusia, karena berarti
mengaktifkan logos, suatu percikan Ilahi yang ada dalam diri manusia.
Orang-orang yang melakukan aktivitas theoria kerap dinamakan sebagai
filosof. Sebab, biasanya filosof punya hal yang lain yang tak dimiliki
oleh orang kebanyakan, yakni pengalaman akan hal yang sublime.
Kami tidak ingin menyebut diri sebagai filosof dengan pengalaman keseharian, tapi penulis meyakini bahwa setiap pengalaman yang mempunyai kedalaman memiliki sisi filosofis. Pengalaman yang berserakan dihadirkan menjadi sesuatu yang utuh dalam rentetan kata-kata. Kami pula meyakini bahwa tutur perlu untuk dituliskan agar ia tidak terlupakan dan berlalu begitu, agar ia “abadi”, sehingga besar harapan kami bahwa kehadiran buku sederhana ini dapat berkontribusi di setiap ruang dimana ia hadir.
Penulis
menyadari bahwa rekam jejak dalam buku ini, mungkin “ada yang retak”. Karena
bermula dari ide-ide yang tidak utuh dan sederhana serta berserakan, yang
diperoleh dari pertautan penulis dengan habitusnya. Ide dalam buku ini
jauh dari kesempurnaan karena ide memang tidak pernah utuh sebab ide yang utuh
petanda stagnasi.
Sebagaimana
judul buku ini: Jejak Dunia yang Retak.
Mengapa
dunia Retak ?
Dunia
adalah tempat kita hidup, namun dunia tak mesti dipahami sebagai entitas
yang taken for granted hasil kreasi Tuhan, tapi dunia juga dapat
dipahami sebagai perwujudan pengalaman manusia terhadap apa yang sedang
dihadapi. Realisasi daya kreasi manusia terhadap alam yang didiami, dengan
membentuk realitas baru yang belum tercipta sebelumnya. Maka dunia di sini
bukanlah dunia yang diterima begitu saja, melainkan hasil karsa dari
keterlibatan manusia sebagai subjek dengan dunia.
Pada
momentum inilah kehendak manusia sebagai subjek memiliki peran, berusaha
mengartikulasikan harapan dan cita-citanya untuk dibumikan menjadi hal yang
kongkret.
Namun pada zaman sekarang, kata Henri Levebre, tak ada ruang yang absen dari
politik, dan kita pun tahu kapitalisme dengan peran politisnya banyak
mendominasi kehendak umum manusia. Membentuk kesadaran massal berdasarkan
agenda-agenda politis dalam rangka memonopoli dunia, yang pada akhirnya manusia
kehilangan kehendak dasarnya, tergantikan dengan nalar kapital yang diinternalisasi
berdasarkan permainan sistem yang berkelindan melalui hegemonisasi. Maka dari
itu, dunia tak lagi milik Tuhan semata, melainkan harus berbagi jatah dengan
kapitalisme, “tuhan” era modern.
Dunia
yang retak adalah dunia yang terkonstruk oleh subjek, di mana nilai
kemanusiaan telah terkikis. Dunia yang memposisikan manusia layaknya mesin,
dengan kata lain manusia tidak lebih dari struktur materi semata. Keretakan
dunia dinikmati begitu saja tanpa sebuah jeda untuk interupsi dan melihat kembali,
lalu bertanya. Apakah dunia ini sudah berjalan sebagaimana semestinya?. Dunia
yang retak mungkin seperti yang disinyalir oleh Anthony Giddens sebagai dunia
yang tunggang-langgang;
lepas kendali.
Kumpulan
tulisan ini, hendak merekam jejak retakan yang dianggap lumrah yang sebenarnya
bukan hal yang biasa. Kehadiran buku ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada setiap orang yang telah menemani, memberi serta berbagi pengalaman
kepada kami. Kepada kedua Orang tua dan Keluarga. Kepada para mentor; Ahmad Syauwq,
Sulhan Yusuf, Hamzah Fansury,
Ipal, ustad Zainal (Alm), yang banyak mengajari kami untuk melihat dunia dengan
cara yang berbeda. Kepada Sahabat; Sabara Nuruddin, Alto Makmuralto, Waliyul
Hamdi, Muhammad Nur, Syamsuriadi Tambur, Safaruddin, Arman Syarif, Joe Fals,
Rahmat Zainal, Idham, Sasli, Andi lambau, Ilman Derajat, Juned, fery Fefrika,
Rido, Zainal As’ad, Bahrawi Zakaria, Adhy Manyipi, Ashari Burhan, Sukaina
Nainawa, Asranuddin Pattopoi serta teman-teman yang tidak sempat disebutkan
satu persatu, pastinya bahwa kehadiran kalian menemani kami berdiskusi,
bercanda, menertawakan hidup itu sangat berarti.
Kepada
anak-anak LDSI Al-Muntazhar yang sedang menanti, Komunitas Maya Tanah Merah,
Komik, Muqaddimah, Madipala FIP UNM, LKIMB UNM, HMI (MPO), Paradigma Group, BEM
dan MAPERWA UNM, SMART EM. Terima kasih khusus untuk mas Eko Prasetyo dan Daeng Dul Abdul Rahman atas kesediaanya memberi prolog
dan epilog pada buku ini.
Wassalam,
Makassar,
30 April 2012