Apa yang kelak datang pada akhir
penghayatan tentang 'ada'?
Konon katanya, agama bermula dari
kesunyian. Konon, agama merupakan titik akhir dari pen-sunyi-an. Ataukah
konklusi dari penghayatan. Bentuk keinsyafan dari ego yang ditangguhkan. Yang
mana cikal ujungnya berakhir kesadaran. Bilamana di sana kesadaran harus
tangguh pada sesuatu yang tak terkenali, dalam situasi inilah manusia berada
pada situasi yang kurang lengkap. Insan yang tiada keutuhan. Sehingga dengan
posisinya yang demikian agama mengajarkan satu hal yang utama;
kerendahan hati.
Jikalau agama adalah hayat
kesunyian, namun ia pun harus memahami kenyataan yang lain dari keberadaannya.
Perihal alam yang berbeda dari dirinya; alam rimba ektensia, alam lain yang
bermaterialkan konkrit. Suatu bentangan yang bersusunkan lapislapis bentuk yang
tiga dimensi.Yang selanjutnya ia mau tak mau harus berhadapan dan mendapati
dirinya pada dunia yang begitu kontras. Pada titik inilah agama terkadang harus
bersilangan dengan hal yang fana; alam duniawi.
Dunia yang sekarang bukan lagi
dunia yang sama ketika pertama kali agama datang. Dunia sekarang merupakan
dunia dengan adabadab yang berbeda. Tempat yang menghapus bentukbentuk
ke-abadi-an. Kita barangkali telah khatam, di mana agama selalu menyusun
dunianya yang menampik sesuatu yang tak tetap. Selalu datang dengan cogitan
yang meneguhkan 'ada', dengan penyingkiran terhadap yang badani. Yang mana
badani merupakan episentrum dari hirukpikuk yang mendatangkan dosa.
Dari sinilah barangkali datangnya
soal. Pada tepian antara sunyi-abadi dengan ramaipikuk-badani, agama harus
menjatuhkan palunya bilamana keduanya harus dipilih. Antara badani ataukah
abadi, antara dunia ekstensia ataukah kesunyian, antara absolut ataukah
kefanaan.
Antara keangkuhan-kesunyian ataukah
kerendahan hati pada alam yang tak pernah tetap?
Sekarang dunia tidak sedang jalan
di tempat. Segala sesuatunya bagai bus yang kehilangan kendali. Dunia yang
menyatakan dirinya untuk tidak tinggal begitu saja. Tempat yang mendapati
dirinya dalam situasi terburuburu. Barangkali pula ini locus masalahnya, dunia
yang tak lagi sama, tanah besar yang menjadi tempat tumbuh kembangnya kemajuan.
Budaya, politik, ekonomi, bahasa, sikap hidup, ideologi, ilmupengetahuan,
teknologi serta sejumlah lainnya saling silap untuk mentata dunia, sedang agama
mendapati dirinya sebagai hal yang terasing. Yang mana karena tak lagi sama,
maka agama memulai agendanya; gerakan 'pemurnian'.
Dan kita pun akhirnya maklum,
keabadian yang menolak kontaminasi dunia, biasanya dengan dalih pemurnian
mentasdik dunia sebagai hal yang mesti tunduk?[]
Pare, awal pagi 020313