Berbicara masalah Islam dan
pemikiran tokoh-tokohnya, seberapapun lamanya tidaklah cukup untuk membahasnya.
Mengingat begitu banyak sekali kajian-kajian Islam berikut pemikiran-pemikiran
para tokohnya, yang telah berhasil mengukir sejarah dan melahirkan peradaban
baru bagi umat Islam. Salah satu tokoh di antara sekian banyak tokoh dalam
khazanah pemikiran Islam adalah Muhammad Iqbal. Seorang penyair yang dikenal
pula sebagai seorang filosof maupun mistikus abad 20
Muhammad Iqbal adalah sosok besar
dalam khazanah kebudayaan Islam. Pemikirannya dikemasnya dalam bentuk puisi,
dan itu membuatnya abadi. Muhammad Iqbal, lahir 9 November 1877 di Punjab
India. Dia adalah seorang filsuf, pemikir, cendekiawan, ahli perundangan,
reformis, politikus, dan yang terutama: penyair. Dia berjuang untuk kemajuan
umat Islam dan menjadi “Bapa Spiritual” Pakistan.
Ia adalah anak sulung dari lima
bersaudara dalam keluarga Kashmir. Ayahandanya Syaikh Nur Muhammad memiliki
kedekatan dengan kalangan Sufi. Karena kesalehan dan kecerdasannya, penjahit
yang cukup berhasil ini dikenal memiliki perasaan mistis yang dalam serta rasa
keingintahuan ilmiah yang tinggi. Tak heran, jika Nur Muhammad dijuluki
kawan-kawannya dengan sebutan "sang filosof tanpa guru". Ibunda
Iqbal, Imam Bibi, juga dikenal sangat religius. Ia membekali kelima anaknya,
tiga putri dan dua putra, dengan pendidikan dasar dan disiplin keislaman yang
kuat. Di bawah bimbingan kedua orangtuanya yang taat inilah Iqbal tumbuh dan
dibesarkan. Kelak di kemudian hari, Iqbal sering berkata bahwa pandangan
dunianya tidaklah dibangun melalui spekulasi filosofis, tetapi diwarisi dari
kedua orangtuanya tersebut.
Setelah dewasa ia masuk
Government College di Lahore di mana dia belajar filsafat, sastra Inggris dan
Arab dan memperoleh gelar Bachelor of Arts, lulus cum laude. Pada 1905,
Iqbal pergi ke Inggris untuk belajar di Trinity College, Cambridge University,
dan juga belajar ilmu hukum di Lincoln Inn. Dia meraih gelar Bachelor of Arts
dari Cambridge University tahun 1907, dan meraih gelaran Ph.D. di bidang
filsafat dari Fakulti Filsafat di Ludwig-Maximilians University di Munich di
tahun yang sama. Gelaran doktoralnya ini diraihnya dengan disertasi The
Development of Metaphysics in Persian dengan bimbingan Prof Dr Friedrich
Hommel.
Iqbal adalah seorang pemikir yang
hidup dalam kondisi dimana negaranya sedang dalam kondisi terjajah. Pada
kondisi inilah Muhammad Iqbal banyak mencetuskan konsep politik yang kelak
mengilhami berdirinya negara Pakistan. Berkat aktifitas politiknya, sepulang
dari Eropa Ia bergabung dalam Partai Liga Muslim India, melalui partai inilah
ia menjalankan aktivitas politiknya. Iqbal juga memiliki pandangan politik yang
khas yaitu; gigih menentang nasionalisme yang mengedepankan sentiment etnis dan
kesukuan (ras). Bagi dia, kepribadian manusia akan tumbuh dewasa dan matang di
lingkungan yang bebas dan jauh dari sentiment nasionalisme. Iqbal memiliki
pemikiran politik yang dinamis menyangkut pemerintahan Islam, baginya Islam dan
politik bukanlah dua entitas yang dikotomis melainkan adalah satu kesatuan yang
tak terpisahkan. Salah satu pemikirannya yakni umat Islam haruslah memiliki
negara sendiri, hal demikian sangatlah wajar jika kita melihat bahwa dalam
konteks dimana Iqbal berada India memiliki dua keyakinan yang saling berseteru
yakni Islam dan Hindu.
Iqbal juga sangat dipengaruhi oleh
Jalaluddin Rumi, Mistikus asal persia. Ia juga pengagum berat Friedrich
Nietzsche, Henri Bergson dan Goethe. Bahkan Iqbal menjadikan Rumi sebagai
“panduannya”. Nietzsche dan Bergson sangat mempengaruhi Iqbal khususnya
konsepnya tentang hidup sebagai kehendak kreatif yang terus bergerak menuju
realisasi. Manusia sebagai kehendak kreatif tidak bisa dibelenggu oleh hukum
mekanis maupun takdir sebagai rencana Tuhan terhadap manusia yang ditetapkan
sebelum penciptaan. Namun semangat relegius Iqbal menyelamatkannya dari sikap
atheisme yang dianut Nitzsche sebagai konsekuensi kebebasan kreatif manusia.
Iqbal masih mempertahankan Tuhan dan mengemukakan argumentasi yang bisa
mendamaikan kemahakuasaan Tuhan dengan kebebasan manusia.
Iqbal juga menolak konsep Nitzsche
maupun Bergson tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa
tujuan. Iqbal mengatakan bagaimanapun orang sadar bahwa dalam kehendaknya ia
memiliki tujuan karena kalau tidak buat apa ia berkehendak, namun Iqbal menolak
tujuan sebagai tujuan yang bukan ditetapkan oleh manusia sendiri melainkan oleh
takdir atau hukum evolusionistik.
Pemikiran Iqbal juga dapat kita kenali
pada pengkajiannya tentang manusia terkhusus pada konsep ego yang ia tawarkan.
Dalam pemikirannya tentang ego, Iqbal memberikan peristilahan yang lain. Khudi
adalah istilah yang bagi Iqbal selaras dengan pemaknaan ego yang kerap kali
dipakai sebagai terma kunci para sufi. Menurut Iqbal, khudi, arti harfiahnya
ego atau self atau individualitas, merupakan suatu kesatuan yang riil
atau nyata, adalah pusat dan landasan dari semua kehidupan, merupakan suatu
iradah kreatif yang terarah secara rasional. Arti terarah secara rasional,
menjelaskan bahwa hidup bukanlah suatu arus tak terbentuk, melainkan suatu
prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, suatu kegiatan sintesis yang
melingkupi serta memusatkan kecenderungan-kecenderungan yang bercerai-berai
dari organisme yang hidup ke arah suatu tujuan konstruktif. Ego bagi Iqbal
adalah kausalitas pribadi yang bebas. Ia mengambil bagian dalam kehidupan dan
kebebasan Ego mutlak. Sementara itu, aliran kausalitas dari alam mengalir ke
dalam ego dan dari ego ke alam. Karena itu, ego dihidupkan oleh ketegangan
interaktif dengan lingkungan. Dalam keadaan inilah Ego Mutlak membiarkan
munculnya ego relatif yang sanggup berprakarsa sendiri dan membatasi kebebasan
ini atas kemauan bebasnya sendiri. Menurut Iqbal, nasib sesuatu tidak
ditentukan oleh sesuatu yang bekerja di luar. Takdir adalah pencapaian batin
oleh sesuatu, yaitu kemungkinan-kemungkinan yang dapat direalisasikan yang
terletak pada kedalaman sifatnya. Pemikiran ini sekaligus menjadi bantahan
terhadap pemikiran Nitzsche yang memandang ego manusia hanya ditujukan pada
ekses kekuasaan.
Menyangkut metafisika, Iqbal pun
menceburkan diri untuk bergabung bersama para filsuf untuk mencurahkan diri
terhadap pengkajian terhadap masalah ketuhanan. Filsafat ketuhanan Iqbal berbeda
dengan filsafat ketuhanan kontemplatif karena Iqbal berangkat dari filsafat
manusia yang menekankan pengetahuan langsung tentang keberadaan ego atau diri
yang bebas-kreatif. Menurut Iqbal manusia bukanlah benda statis tetapi suatu
aktivitas gerak dinamis-kreatif yang terus merindu akan kesempurnaan. Baginya
Cintalah yang mendorong manusia untuk melakukan penyempurnaan diri lewat proses
intuitif yang mampu membawa manusia menjadi manusia yang sempurna. Iqbal
menawarkan tiga tahapan yang mesti dilewati manusia untuk melakukan proses
penyempurnaan. Pertama, setiap individu harus belajar mematuhi dan
secara sabar tunduk kepada kodrat makhluk dan hukum-hukum ilahiah. Kedua,
belajar berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinya melalui
rasa takut dan cinta kepada Tuhan seraya tidak bergantung pada
dunia. Ketiga, menyelesaikan perkembangan dirinya dan mencapai
kesempurnaan spiritual (Insan Kamil).
Dari sudut yang lain, Iqbal adalah
negarawan yang gigih mengecam alam pemikiran barat yang dinilainya sebagai
pemikiran yang menyeret manusia hanya berkutat pada dimensi material. Salah
satu kecamannya menyangkut budaya Barat adalah budaya imperialisme,
materialisme, anti spiritual dan jauh dari norma insani. Karenanya ia sangat
menentang pengaruh buruk budaya Barat. Ia juga sangat prihatin terhadap
masyarakat India yang disatu sisi mendapatkan jajahan oleh koloni Inggris dan
di sisi lain mendapati hampir sebahagian besar masih banyak masyarakat India
yang tidak mampu memahami isi kandungan al qur’an lebih disebabkan oleh masih
kentalnya ajaran hindu yang dikonsumsi oleh muslim India.
Iqbal adalah seorang yang gigih dalam
menawarkan konsep pemikiran Islam sebagai alternativ untuk kemajuan manusia
yang hidup dalam alam pemikiran barat. Banyak belajar di Negeri barat tak
membuatnya lupa akan api Islam yang menempatkannya sebagai pemikir yang patut
diberikan apresiasi yang tinggi, apalagi banyak pemikirannya yang senantiasa
menjadikan dia sebagai tokoh yang mengintrepetasikan Islam sebagai ajaran yang
futurustik dan dinamis. Ia memberikan pelabelan Islam tak seperti ajaran agama
yang lain. Baginya Islam bukanlah ajaran yang fatalistik dimana memberikan
kepasrahan bagi penganutnya sebagaimana ajaran mistisisme timur lainnya dan
juga bukan sebuah ajaran yang hanya berbicara sebatas dimensi material belaka
sebagaimana pemikiran barat yang materialistik. Akhirnya bukanlah Iqbal jika
kita membicarakannya tanpa menghadirkan sisi mistisisme dari dirinya.
Sebagaimana didalam perkataannya “Jadilah manusia-Tuhan, kandunglah rahasia
dalammu”.[]