Hari-hari ke depan mungkin akan
penuh gemuruh. Jalan raya menjadi ramai, dan mahasiswa tentu punya agendanya
sendiri. Harihari belakangan ini, kita dibuat resah, banyak caci maki menjadi
hal yang mendekati ujaran yang banal, aspirasi menjadi ihwal yang penting,
sebab di penghujung bulan nanti, presiden RI akan berdiri di atas podium
Negara, berdiri menghadap seluruh masyarakat sabang merauke, dan tentu dengan
kesannya yang kita kenal betul; mimik muka yang melankolis, tutur ucap yang
telah ditata, dibagian mana intonasi harus ditekan pada katakata
tertentu, warna baju apa yang harus
melambangkan kecocokan dengan audiens dan tentu isi pengumuman itu
sendiri, dengan teori-teori ekonomi makro mutakhir, tentang nasib, tentang naik
tidaknya bahan bakar minyak.
Pidato, Jalan raya dan mahasisiwa
di harihari ini kerap semakin akrab. Agenda yang serempak harus segera
dijalankan. Agenda pemerintah dengan menaikkan harga bahan bakar minyak menjadi
topik yang tibatiba genting. Dan jalan raya menjelma sebagai narasi yang
mempertautkan ideide perubahan yang selama ini dilancung oleh sistem. Maka
analisis tentang perihal kebijakan dihampar pada setiap ruang-ruang dialog. Di
mana di sana ada persandingan isu-isu tentang perubahan sebuah negeri yang
ingin merdeka. Teori-teori perubahan sosial pun pada akhirnya kembali
mendapatkan momennya untuk dibincang kembali. Namun pada negara seperti
Indonesia, seluruh teori yang punya kesan ingin merubah tatanan sistem
pemerintahan dipending untuk diajarkan. Bahkan sekalipun bisa jadi harus di
berangus. Maka antara hari-hari kemarin dan hari-hari seperti ini, ide-ide
perubahan mendapatkan sinyalemennya yang kurang tegas.
Sebagai narasi, maka sebuah
penceritaan selalu dimulai dengan permulaan. Mengkisahkan aktoraktor
yang punya peran di dalamnya, dan apa yang dilakukan belakangan ini; apa yang
sering dikatakan sebagai aksi jalanan, sedang dalam kehilangan
aktornya. Maka di saat seperti ini, jalan raya menjadi
pentas yang memainkan peran-peran pada sebuah gerakan yang tak
memiliki aktornya.
Perihal ini, Weber, seorang jerman, punya teori. Perubahan
penting untuk dimulai dengan kepemimpinan, yang mana punya posisi strategis
dalam penentuan arah perubahan sosial. Tentu weber memiliki iman
bahwa massa jalanan tak selamanya adalah hal yang sadar dengan kondisi yang
melatarbelakanginya. Menyangkut ini, Weber menampik jenis gerakan yang akhirnya
bisa jadi lancung di tengah jalan. Yang mana sebuah arah bisa jadi
adalah kehendak yang menampik ruang permenungan.
Dengan begitu, galibnya sebuah
suara protes di tengah gerombolan massa hanya menjadi suara yang panca. Maka
kehadiran ideide perubahan harus disemai di tengahtengah massa. Teori-teori
harus menjadi bagian integral dalam menata realitas, bergumul dengan realitas
sebagai jalan dialektis. Di mana pada titik seperti ini, kerap
teori-teori besar harus kembali di ujicoba, difalsifikasi pada tepian realitas
yang kerap jamak, sehingga tak ada ide yang mutlak tunggal, yang berarti ada
kemungkinan sebuah teori besar harus memberi jalan bagi ide-ide yang minor.
Namun jalan perubahan, tak
selamanya mengisyaratkan perlunya sebuah ide yang sempurna betul. Sebab ide
yang sempurna betul punya jalannya sendiri. Terkadang ide yang
sempurna hadir dengan jaraknya yang jauh dengan kondisi keadaan manusia. Kita
lihat betapa ide-ide besar menjadi teropong yang memberi batas pada apa yang
dapat dilihat dan apa yang tak dapat dilihat. Dan dengan demikian perubahan
dengan mengusung ideide besar harus takluk dihadapan konteks yang tak
dikenalinya. Bisa jadi karena itulah, ide-ide yang datang pada penghujung zaman
terkadang lebih mampu diterima dibandingkan dengan ide-ide yang ada sebelumnya.
Berkat itulah, Hegel punya
keyakinannya sendiri. Ide dalam pandangannya mengisyaratkan perubahan yang
terus menerus, yang berkelindan dalam zaman. Sebuah ide dipahami sebagai gerak
yang melampaui batas-batas teritorial temporal. Sebab ide pada hakikatnya
adalah sempurna. Namun kesempurnaan adalah ihwal yang juga menjadi hal yang
kerap kali ditolak pada momenmomen yang menghendaki adanya perbuatan yang
segera. Di sini, tindakan menjadi nyata dibandingkan ide yang
terlampau abstrak. Dan di sinilah masalahnya, ide selalu menuntut keterlepasan
dari tindakan yang kongkret.
28 Maret 2012. 02;53 Wita