Berbicara tentang kapitalisme yang memiliki relasi dengan
pendidikan, hal yang penting sebelumnya untuk kita ketahui bahwasannya diantara
hubungan itu terdapat relasi yang mempertemukan keduanya dari aspek tujuan dan
kepentingannya. Adalah kekuasaan yang menjadi faktor penengah sehingga modus
keduanya dapat bergandengan tangan. Adanya relasi kepentingan kekuasaan dengan
ilmu pengetahuan memberikan kita gambaran bahwasa pendidikan bukanlah institusi
yang independen dari intitusi-institusi lainnya, melainkan pendidikan pun harus
mengambil jalan di dalam kepentingan itu sendiri. Maka dari itu politik pun
harus memiliki kepentingan didalamnya.
Sistem politik sebagai
salah satu instumen dalam membumikan konsepsi-konsepsi mengenai arah
perkembangan sebuah ideology, sebelumnya terbangun dari penalaran pengetahuan,
hingga nilai dari pengetahuan itu sendiri, hari ini lebih bersifat netral atau
lebih mementingkan golongan yang memiliki otoritas atas system politik yang
dibangun. System politik liberal yang mengedepankan privatisasi, liberalisasi,
dan swastanisasi dengan kuat telah menjadi world view para
elit politik sehingga pada efeknya tidak memiliki indenpedensi nilai dalam
perhelatan untuk membangun sebuah pandangan yang mandiri. Pandangan yang
memihak dalam pendidikan seharusnya hadir sebagai alternative dalam kondisi
sekarang, sebagai jawaban dari privatisasi yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Sekilas, Politik Pendidikan; Komersialisasi Pendidikan
Kapitalisme sebagai sebuah bangunan konsep ekonomi telah
melakukan ekspansi besar-besaran sebagai ideologi yang dominan. Dalam
menjalankan mekanisme pemikirannya, kapitalisme telah mengambil bentuk yang
berbeda dalam menjalankan agenda-agendanya untuk mendominasi dunia sekarang
ini. Neoliberalisme merupakan salah satu bentuk transformative dari kapitalisme
untuk tampil didalam wilayah politik dengan mengedepankan semangat
globalisasi-modal dalam menyatukan pandangan masyarakat dunia. Privatisasi,
deregulasi, swastanisasi serta liberalisasi merupakan segenap idiom-idiom yang
dipropagandakan kepada bangsa-bangsa terjajah melalui lembaga-lembaga
perekonomian dunia untuk mengatur mekanisme pasar bebas sebagai cara untuk
mengikis habis segala macam potensi dari sebuah bangsa yang dijajahnya.
Neoliberalisme memiliki asumsi dasar bahwa perekonomian sebuah negara tidak
menjadikan negara sebagai sentral sistem dalam mengatur
perekonomiannya dengan segenapr regulasi-regulasinya, melainkan pasar bebaslah
yang nantinya memiliki wewenang penuh dalam mengarahkan arah perekonomian suatu
negara. Lewat asumsi ini, maka negara dalam menjalankan sistem perekonomiannya,
memberikan tempat bagi lembaga-lembaga perekonomian dunia untuk mengatur
sejumlah aturan-aturan yang oleh negara yang bersangkutan menyiapkan sejumlah
undang-undang sebagai legitimasi hukum untuk melancarkan
prosesi lewat pemerintahan yang dibangun. Implikasi yang hadir dari
itu adalah liberalisasi aset yang memberikan peluang bagi organisasi-organisasi
dunia serta investor asing untuk menanamkan sahamnya untuk turut menempatkan
kepentingan mereka. Pada sisi yang lain hadirnya lembaga-lembaga dunia tersebut
menyebabkan ketergantungan yang fatal bagi negara dalam menjalankan sistem
perekonomiannya.
Untuk konteks negara kita, pendidikan telah menjadi salah
satu aset bagi pemerintah untuk dikelolah pihak asing sebagai dampak dari
penerapan pemerintahan yang liberal. Dari kenyataan yang ada,
pemerintah telah menggiring pendidikan kepada pasar bebas untuk
dijadikan sebagai tempat meraup keuntungan. Dari itu pendidikan dalam konteks
kenegaraan kita telah di politisasi dengan segenap aturan perundang-undangan
yang memposisikan rakyat sebagai bagian yang subordinat. Hal ini tertuang dari
peraturan presiden republik Indonesia nomor 77 tahun 2007 tentang daftar bidang
usaha tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan penanaman
modal. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pendidikan dasar dan menengah,
pendidikan tinggi dan pendidikan nonformal dapat dimasuki oleh modal asing
dengan batasan kepemilikan modal sebesar 49 persen.1 Hal ini
jelas bahwasannya pendidikan telah diwarnai dengan politisasi yang berujung
pada komersialisasi pendidikan.
Dari segi pengetahuan, kurikulum-kurikulum yang
diterapkan adalah konsep-konsep positivism yang mereduksi realitas sehingga pelajaran-pelajaran
yang diajarkan mengkonstruk peserta didik menjadi bisu ketika diarahkan pada
dimensi sosialnya. Hal ini terjadi karena peserta didik hanya melihat fenomena
yang terbentuk bukan noumena yang membentuk fenomena tersebut. Hal ini dilandasi
karena nalar positivism hanya mengajarkan pada
realitas-realitas yang terinderai saja. Dengan begitu Pengetahauan yang
terbangun di dalamnya hanya menyentuh dimensi material, yang
akhirnya menempatkan manusia dalam menilai dunianya hanya pada
sebatas hal-hal yang profan, sehingga dalam membangun sistem nilai manusia
menjadi mahluk yang mekanistis.
Dari sisi yang lain, pengetahuan yang
dikonsumsi tidak mampu membawa peserta didik untuk menempatkan diri
secara aktif untuk merubah realitas dimana ia berada. Hal ini sangatlah
berbahaya dikarenakan pendidikan dengan model seperti ini tidak
mampu mengangkat kesadaran ideal manusia sebagai mahluk yang
berkesadaran. Maka dari itu diperlukan pembaharuan paradigma untuk memperbaiki
kondisi pendidikan yang telah dipolitisasi oleh kekuasaan yang berkuasa. Dalam
konteks ini maka perlu membangun kesadaran kritis peserta didik untuk
mendemistifikasi ideology yang membentuk realitas beserta kepentingannya. Hal
ini merupakan hal yang penting karena eksploitasi yang terjadi merupakan akibat
dari tergradasinya nalar kritis para peserta didik. Dalam membangun nalar yang
kritis diperlakukan usaha yang kreatif untuk menumbuhkannya tidak sebagaimana
model pendidikan sekarang yang lebih bersifat monoton. Oleh karena
itu perlunya menawarkan konsep pendidikian yang lebih menekankan kekritisan
peserta didik yang merupakan kata kunci dari konsep yang dibangun. Lebih jauh
lagi pendidikan harus lebih mengedepankan konsep yang berkeadilan dan
kesetaraan.
Hal ini jauh berbeda dengan konsep pendidikan sekarang
(baca: liberal) yang pada prakteknya menghadirkan perebutan atau system
kompetisi yang menekankan pada aspek modal. Salah satu contoh, bahwasanya pada
praktek praktek sekolah mencerminkan kondisi bagai organisasi ekonomi. Dengan
kata lain, para pengajar bertindak bagai manejer perusahaan yang mengarahkan
kelas sebagaimana perusahaan. Kelas dibentuk berdasarkan orientasi yang
memposisikan murid dan guru seperti relasi yang terbangun antara manejer dan
buruh. Guru sebagai menejer memiliki otoritas mutlak untuk mengarahkan kelas
sesuai dengan keinginannya, bahkan terkadang hadir praktek perdagangan
didalamnya berupa penjualan buku sebagai produk yang dibeli dengan balasan
nilai yang tinggi tanpa harus mempertimbangkan kecerdasan dan sifat aktif dari
peserta didik.2
Pendidikan Kritis Sebagai Salah Satu Alternatif
Pendidikan
Pendidikan kritis adalah salah satu mazhab pendidikan
yang merupakan antitesa dari sistem pendidikan sekarang(baca:liberal).
Pendidikan kritis memiliki keyakinan bahwasannya pendidikan harus di lihat
dalam kerangka yang memiliki kaitan dengan kekuasaan serta ideologi yang ada.
Bahkan bagi Antonio Gramsci, pendidikan memiliki muatan politik yang
menempatkan pendidikan tidak bebas dari kepentingan elit kekuasaan. Maka dari
perspektif itulah pendidikan seharusnya turut mengambil bagian dalam
pertarungan kepentingan ideologis yang terjadi.
Pendidikan kritis memiliki konsep bahwasanya
pendidikan harus mampu menghantarkan manusia merdeka dari determinisme sosial
yang terjadi pada masyarakat dewasa ini. Determinisme sosial atau meminjam
istilah Ali Syariati, penjara-penjara sosial dipahami sebagai sesuatu yang
telah digariskan oleh takdir sehingga usaha apapun yang dilakukan tidak mampu
lagi untuk diubah. Pada wilayah inilah pendidikan kritis
menempatkan salah satu perhatiannya. Bagi pendidikan kritis kondisi
yang ada tidak terjadi begitu saja atau bukanlah sesuatu yang harus diterima
tanpa harus dipertanyakan. Melainkan dibalik fenomena yang terjadi terdapat seperangkat
sistem yang turut andil dalam membentuknya. Dari sinilah pendidikan kritis
memulai pengkajiannya untuk melihat fenomena yang terbentuk. Oleh pendidikan
kritis Kapitalismelah sebagai biang dari kemerosotan masyarakat diberbagai
sektornya, salah satunya adalah pendidikan itu sendiri.
Pendidikan kritis memiliki visi bahwa pendikan harus
melahirkan manusia-manusia yang memiliki kesadaran untuk membangun esensi
kemanusiaanya. Salah satu dari upaya pendidikan kritis untuk membangun asumsi
di atas adalah dengan cara menempatkan manusia pada posisinya sebagai manusia
yang merdeka. Kata kunci dari pendidikan kritis yakni mengartikan pendidikan
sebagai sebentuk bahasa kritik, yakni pendidikan yang diarahkan untuk membaca
realitas dengan budaya kritis. Berbicara budaya kritis, yang harus menjadi
titik tekannya adalah usaha kreatif dari pendidik untuk melahirkan budaya
dialogis, kritik dan saran-menyaran untuk menumbuhkannya dalam kepribadian
peserta didik. Jadi tidak memberikan pengetahuan dengan kehadiran begitu saja
melainkan dari mana dan bagaimana pengetahuan itu terbentuk dan
hadir. Dengan cara seperti itu maka yang ada tidaklah serta merta diproduksi
melainkan dicerna dengan cara mereproduksi ulang pengetahuan yang ada.
Berbeda dengan Pendidikan sekarang yang bersifat gaya
bank dengan cara peserta didik dibiarkan diam dan menunggu pengetahuan.
Pendidikan kritis melalui metodenya memiliki cara yang disebut kodifikasi dan
dekodifikasi.3 Kodifikasi mengacu pada metode yang mengangkat
permasalahan peserta didik yang merupakan fakta yang nyata untuk dijadikan
objek kajian dalam belajar. Sedangkan dekodifikasi merupakan proses pembacaan
yang deskriptif dan analitis untuk menghubungkannya dengan kajian pembelajaran
sehingga terjadi hubungan yang kompleks untuk dijadikan sebagai permasalahan
yang memiliki kaitan yang erat dengan fenomena yang terjadi pada kehidupan
sosial peserta didik. Dari situasi demikian memunculkan proses dialektika antara
peserta didik dengan kehidupannya.4 Dari hal ini maka
pengetahuan tidak menjadi pasif melainkan pengetahuan yang sifatnya
transformativ untuk turut mengubah fakta-fakta yang terjadi disekitar peserta
didik. Begitu pula dari teks-teks yang dipelajari tidak terjadi kesenjangan
dengan konteks yang ada.
Dari perspektif pendidikan kritis, institusi pendidikan
mendapatkan tempat yang urgen dalam pembahasan sebagai tempat untuk dijadikan
sebagai upaya mobilisasi pengetahuan. Karenanya pengetahuan yang di
transmisikan tidak menjadi ilmu yang terkotak-kotakkan. Intitusi pengetahuan
bagi pendidikan kritis seharusnya diarahkan pada upaya pembentukan situasi
social yang tidak melanggengkan status quo, dimana biasanya melahirkan
eksploitasi pada segi pengetahuan, ekonomi dan budaya. Lahirnya kelas-kelas
social bagi pendidikan kritis diakibatkan oleh reproduksi pengetahauan yang
memiliki output pada ruang sosial yang stagnan, sehingga peserta didik yang
hidup ditengah-tengah masyarakat beranggapan bahwa kondisi yang
terjadi merupakan kondisi yang natural tanpa ada upaya pengrekayasaan sosial
oleh ideology yang mendominasi. Maka dari itu institusi pendidikan semacam
perguruan tinggi seharusnya mampu melahirkan manusia-manusia merdeka yang
memiliki kepekaan dalam melihat kondisi yang ada untuk kemudian di ubanhya.[]
- Disadur dari Buletin FEMA FIS UNM periode 2009-2010, terbitan edisi juni 2010.
- ibid.
- M. Agus Nuryanto, Mazhab Pendidikan Kritis, hal.6
- ibid