Jean Paul Sartre si
pesohor eksistensialis, pernah dipaksa turun dari podium saat ia menyampaikan
orasi. Gelombang mahasiswa kesal dan marah. Perancis saat itu sedang mengalami fase
peralihan. Sekarang bukan lagi harus Sartre, kekesalan mahasiswa telah
memuncak, Satre harus turun.
Sekarang giliran mahasiswa harus bersuara lantang. Pada momen itu mahasiswa menunjukan kesan; sudah saatnya mereka yang berbicara. Tentu bukan lagi sebagai massa yang mengekor. Ikut dalam barisan aksi berarti harus maju ke depan massa.
Sekarang giliran mahasiswa harus bersuara lantang. Pada momen itu mahasiswa menunjukan kesan; sudah saatnya mereka yang berbicara. Tentu bukan lagi sebagai massa yang mengekor. Ikut dalam barisan aksi berarti harus maju ke depan massa.
Nun jauh di negeri seberang
terlontar diktum pemimpin berkopiah: “berikan aku sepuluh pemuda, maka akan
kupindahkan gunung Himalaya”. Keras gema itu membahana menjadi api penyulut semangat kaum muda Indonesia. Indonesia membutuhkan pemuda. Saat di mana Indonesia sedang berjuang keluar dari penjajahan imperialism belanda. Indonesia saat ini membutuhkan
pemuda
Jauh hari sebelumnya sebuah
ide meledak. Pemuda berusia 20-an beserta teman-temannya merencanakan satu
peristiwa penting. Peristiwa yang kelak diukir pada buku-buku sejarah.
Gerombolan ini merencanakan rencana yang sangat berani: menculik presiden RI beserta
wakilnya. Sukarni nama pemuda itu. Dia dan gerombolannya berniat memaksa
Soekarno menyatakan kemerdekaan Indonesia di hadapan warga dunia.
Ini bukan cerita film holywood
pada layar kaca Anda, melainkan fakta sejarah. Banyak kisah serupa
seperti di atas bisa kita temukan. Telisiklah sejarah perubahan dunia, maka
banyak orang-orang muda yang tak puas dengan keadaan terjajah. Tak ingin
dikibuli oleh rezim hipokrit atau dibodohi oleh sistem otoriter. Pada orang-orang muda ini ada keberanian serta mentalitas yang baja. Mereka adalah kalangan terdidik. Mereka adalah mahasiswa.
Mahasiswa adalah kaum yang berkemampuan merespon situasi secara radikal . Membaca zaman dan kemudian mengubah takdir. Di hadapan mereka ada situasi yang timpang. Ada sistem yang menjarah. Ada pemimpin yang tak adil. Di depan mata mereka ada masyarakat yang perlu disadarkan dari kejahiliaan, pembodohan oleh struktur yang tak berpendidikan. Jika semua itu terjadi mereka tak ingin diam, mereka selanjutnya bertindak.
Mahasiswa adalah kaum yang berkemampuan merespon situasi secara radikal . Membaca zaman dan kemudian mengubah takdir. Di hadapan mereka ada situasi yang timpang. Ada sistem yang menjarah. Ada pemimpin yang tak adil. Di depan mata mereka ada masyarakat yang perlu disadarkan dari kejahiliaan, pembodohan oleh struktur yang tak berpendidikan. Jika semua itu terjadi mereka tak ingin diam, mereka selanjutnya bertindak.
Mahasiswa seperti ini hidup
di dalam kampus; sebuah ruang sosial yang dimaknai sebagai sekolah. Tempat
mengasah otak dan mempertajam kepekaan. Mereka akrab dengan gagasan besar.
Intens membentuk komunitas belajar dan tentu berkutat dengan diskusi-diskusi
kebangsaan.
Mereka dikenal dengan
idealisme, semangat dan keberanian. Pada praktik hidupnya selalu didasari oleh
perangkat nilai. Aktivitasnya yang mendorong masyarakat sebagai civil progress
menjadi makanan sehari-hari. Di tengah-tengah masyarakat tugas mereka
memberikan kesadaran politik, membangun perkampungan-perkampungan mandiri serta
menanamkan akhlak terpuji sebagai panutan.
Mereka memiliki iman bahwa
sejarah mesti dipelajari, masyarakat harus dibaca, teori harus diurai pada
kenyataan yang dihadapi. Dengan begitu mereka menggariskan satu benang
merah agar sampai kepada zaman kelak, bahwa mahasiswa bukanlah ruang kosong
oleh pemaknaan, melainkan di dalamnya terkandung api pencerahan yang peka
terhadap ummat.
Kita pada hakikatnya telah
dibesarkan oleh sejarah perjuangan pendahulu. Mahasiswa sebagai identitas
telah kita terima sebagai baju keseharian kita. Namun malangnya baju itu
bagi kita tak laik lagi untuk dikenakan, karena bisa jadi lusuh dan warnanya
yang tak lagi cemerlang.
Hedonism:
Berhala Mahasiswa
Zaman sudah berbeda. Formasi
sosial telah berubah. Sekarang bukan lagi bicara tentang seberapa
seringkah engkau dipanggil Puang, Andi, Karaeng serta sejenis embel-embel kelas
ningrat. Malah sudah tergantikan seberapa panjangkah gelar akademik yang
diterakan pada nama. Bukan lagi baju bodo, sirrina pacce melainkan bagaimana
engkau tampil dengan barang-barang yang engkau miliki. Produk-produk telah
menggantikan pengetahuan sebagai esensi manusia. Maka zaman menjadi
“pameran akbar” para penyembah barang.
Zaman dahulu, manusia
memiliki iman tentang keberadaan benda-benda. Mereka mempercayai suatu benda
memiliki nilai keramat oleh sebab dihuni oleh roh maupun spirit kudus.
Pemberlakuan terhadap benda-benda yang dihuni roh maupun spirit diperlakukan
secara khusus. Bahkan ukuran keberadaan manusia disandarkan pada kepemilikan
barang-barang yang dimaksud. Eksistensi manusia berharga apabila menturutkan
benda-benda pusaka. Kualitas keberanian, kejantanan serta kebesaran
adalah kualitas kemanusiaan yang biasanya dihubungkan dengan keberadaan
barang-barang pusaka. Herbert Marcuss menyebutnya fethisisme.
Pada alam modern keyakinan
ini hadir dengan bentuk yang baru. Barang telah menjadi pujaan serta sembahan
yang kita sakralkan dalam keseharian. Fetisisme produk yang menganggap bahwa
barang-barang yang kita miliki memiliki unsur magis, roh dan pesona telah melahap
habis nalar yang dimiliki. Melalui apakah unsur magis, roh dan pesona itu
bekerja? Demi sebuah life style, demi sebuah prestise dan harga diri,
orang-orang ikhlas menghamburkan uangnya hanya untuk dapat eksis dan
dikenali orang-orang di sekitar. Aku bergaya maka aku ada.
Hedonisme telah mengambil
jatah tuhan dalam iman mahasiswa sekarang. Ruang parade kehidupan
kampus yang menonjol dan telah menjadi simbol hidup para pemuja berhala produk.
Keterlenaan dengan barang menjadikan mahasiswa tampil dengan isu sentral life
style. Ukuran engkau ada adalah seberapa banyakkah baju yang engkau miliki,
merek apakah barang dan dimana barang itu bisa di dapatkan. Tema-tema
besar menjadi pembicaraan sampingan, yang ada adalah tema absurd lainnya.
Dan kini menjadi ayat-ayat yang sering dijadikan zikir pada kolektivitas religi
yang dilakukan. Sebuah identitas baru telah hadir untuk menggusur keberadaan
identitas mahasiswa sejati: mahasiswa bermental pasar.
Sementara pada poros lain,
terdapat elemen berbeda yang senantiasa menanti datangnya perubahan.
Membangun kolektivitas massa melalui pertemuan-pertemuan pengetahuan.
Berdiri di tengah- tengah arus budaya hedonisme sembari memperteguh niat guna
meretas sejarah yang lebih baik. Satu identitas dengan komitmen tinggi yang
memegang teguh amanah sejarah para pendahulunya.
Mereka inilah yang kerap kali diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit untuk selalu eksis. Idiom perjuangan dan ideologisasi telah menjadi makanan keseharian mereka. Buku dan diskusi adalah tameng mereka. Dan idealisme adalah penuntun jalannya.
Mereka inilah yang kerap kali diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit untuk selalu eksis. Idiom perjuangan dan ideologisasi telah menjadi makanan keseharian mereka. Buku dan diskusi adalah tameng mereka. Dan idealisme adalah penuntun jalannya.
Syahdan, kampus telah
menjadi karnaval besar; ruang yang menghamparkan pertarungan abadi antara
dua identitas. Dua peran antagonism; antara hedonisme dan idealisme, antara
produk dan pikiran. Sedang didalamnya kita berada. Lantas dimanakah
anda?[]
---
Tulisan tahun 2010